Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Menjaga hasrat materialistis dan ‘flexing’ di media sosial lewat ‘mindfulness’

  • Written by Cleoputri Yusainy, Associate Professor in General and Experimental Psychology, Universitas Brawijaya
Menjaga hasrat materialistis dan ‘flexing’ di media sosial lewat ‘mindfulness’

● Instagram jadi ladang subur bagi budaya pamer.

● Keinginan untuk memiliki sesuatu sering kali dipicu oleh orang lain.

● ‘Mindfulness’ bisa menjadi rem di tengah dorongan konsumtif yang kian masif.

Notifikasi smartphone-mu berdenting. Influencer yang kamu ikuti baru saja mengunggah postingan di Instagram. Ketika membukanya, mungkin kamu akan mendapati mereka tengah berlibur ke luar negeri, berolahraga dengan sepeda yang harganya bisa di atas sebuah motor, menikmati perawatan tubuh mewah atau berganti iPhone yang baru saja rilis.

Ketika kamu berselancar di laman muka Instagrammu, algoritma pun bisa mengarahkan ke postingan serupa dari influenser yang tidak kamu ikuti.

Konsumerisme, materialisme, serta hedonisme yang terus tersaji melalui jejaring media sosial menciptakan budaya konsumsi yang jauh melampaui batas kemampuan alam untuk melakukan pembaruan. Praktik ‘flexing’, pamer keleluasaan untuk “membuang-buang” barang, jasa, dan waktu luang yang tidak dimiliki kebanyakan orang, dengan mudah tersua di penjuru platform Instagram.

Melibatkan 2.296 responden, riset kami[1] menyelidiki sejauh mana paparan pamer konsumtif dapat merangsang aspirasi materialistis pengguna Instagram, serta bagaimana efek ini dimediasi oleh antisipasi keterlibatan pengguna lain (anticipated engagement) dan dimoderasi oleh kesadaran lengkap (mindfulness) yang dimiliki audiens.

Mengenal hasrat dan keinginan meniru

Aspirasi materialistis[2] bermula dari hasrat. Nyaris tidak ada bentuk kesadaran yang bebas dari hasrat: dorongan yang mengawali pikiran, perilaku, dan ucapan. Hasrat merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam melakoni kehidupan kita sebagai manusia.

Hasrat menempatkan dirinya dalam segi bersudut tiga. Pertama, sudut kekayaan. Bekerja bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan, namun juga menimbun kebendaan. Semakin banyak hasil timbunan, semakin menggembirakan. Ironi lahir kemudian: semakin punya, justru semakin merasa papa.

Hasrat kedua adalah ketenaran. Hasrat ini mendorong untuk menaiki tangga sosial. Semakin banyak orang yang mengenali siapa kamu, semakin tinggi status sosial dan pengaruhmu. Tentu, ada konsekuensi. Ketika segala hal dipaparkan ke publik untuk mencari validasi, tidak ada lagi yang tersisa untuk diri sendiri.

Ketiga, hasrat pencitraan. Hasrat ini berpusat pada cerita tentang kebaikan, keunggulan kita dibanding orang lain, dan narasi keunikan kita. Sudut ini lebih murah ketimbang dua hasrat lainnya. Alih-alih melakukan kebajikan karena ketulusan, pujian terhadap citra diri menjadi tujuan akhirnya. Ketidaktulusan membuat kita selalu curiga, tindakan orang lain juga menyimpan motif tersembunyi.

Gaji tak kunjung naik. Promosi mesti pindah perusahaan. Skripsi belum juga ACC. Diet ketat, berat badan tak turun juga. Lingkungan kerja toksik, bosnya narsistik. Gaji bulan ini mesti dibagi untuk orang tua dan anak. Mau sustainable living, ongkosnya mahal. Notifikasi kantor berdenting hingga tengah malam. Generasi Zilenials hidup di tengah disrupsi teknologi, persaingan ketat, dan kerusakan lingkungan. Simak ‘Lika Liku Zilenial’ mengupas tuntas permasalahanmu berdasar riset dan saran pakar. Saling meniru di media sosial Apakah keinginan sesuatu di media sosial datang dengan sendirinya? Sayangnya tidak. Filsuf kenamaan Prancis René Girard (1966)[3], memperkenalkan konsep mimetic desire atau hasrat tiruan yang menegaskan bagaimana apa yang kita inginkan tidak melulu dalam kendali kita. Hasrat, menurut Girard, adalah produk dari proses sosial. Kita menginginkan objek tertentu bukan karena betul-betul membutuhkannya, atau karena paham kualitas objektifnya (object-oriented), tetapi karena orang lain menginginkannya (desire of another’s desire). Girard juga mengenalkan konsep ‘mediation of desire’ atau , ketika kita meniru hasrat orang lain, maka orang lain tersebut berfungsi sebagai mediator atau perantara. Kita bisa meniru hasrat sang perantara yang tadinya tidak kita miliki, meski tujuannya tidak sejalan dengan sistem nilai yang kita anut, bahkan ketika gaya hidup mediator tersebut jauh melampaui kebutuhan dasar kita. Media sosial adalah mesin mimetic. Dalam suatu model ketika interaksi sosial tidak lagi terbatas pada lingkaran sosial terdekat, suatu perantara hasrat tidak lagi perlu punya kesejarahan dengan audiensnya. Artinya, suatu akun yang tak kita kenali secara langsung pun bisa memengaruhi hasrat kita. Mindfulness sebagai kualitas anti-mimetic Di Instagram, perantara dibentuk oleh suatu perhatian bersama atau atensi kolektif[4]. Perhatian ini terbentuk melalui perhitungan kita tentang tingkat engagement suatu konten media sosial, atau disebut anticipated engagement. Studi kami[5] menemukan: semakin tinggi anticipated engagement terhadap konten pamer konsumtif yang diposting oleh akun anonim, maka semakin besar pula dampaknya bagi hasrat materialistis seseorang. Kebiasaan pamer dan hasrat tiruan yang merebak di Instagram perlu kita sikapi dengan waspada. Sebab, sepanjang praktik ini mendapatkan imbalan sosial berupa anticipated engagement, kita bisa jadi akan merasa bahwa kekayaan, ketenaran, dan citra diri adalah hasrat yang layak kita kejar dan pamerkan. Selain itu, kebiasaan ini pun memicu berbagai masalah. Misalnya, gangguan terhadap kesehatan mental[6], masalah sosial[7], dan pencemaran lingkungan[8]. Oleh karena itu, kita memerlukan sikap tertentu untuk menangkal hasrat meniru dan ingin pamer yang berisiko. Riset kami[9] menemukan bahwa responden dengan mindfulness yang baik memiliki hasrat konsumtif yang rendah terhadap konten-konten dengan tingkat anticipated engagement yang tinggi. Sebaliknya, aspirasi materialistis akan besar bagi responden yang kurang mindful. Konsep mindfulness berakar dari tradisi kontemplasi dan praktik meditasi Timur[10], yang memandang kondisi kehidupan selalu berubah sehingga tidak pernah memuaskan dan tidak memiliki inti. Identitas yang dibangun di media sosial sering dimaksudkan untuk memeroleh sebanyak-banyaknya pelibatan dari pengguna lain. Seseorang yang mindful biasanya menganggap bahwa konten flexing tidak layak untuk mendapatkan perhatian darinya. Mereka pun memahami bahwa kepemilikan barang belum tentu menjadi solusi atas persoalan hasrat manusia. Seseorang yang mindful pun lebih mudah menghindari ketergantungannya terhadap hasrat. Mereka menyadari semuanya bersifat sementara[11]: keuntungan karena kekayaan akan berganti dengan kerugian, kemasyhuran berubah menjadi kehinaan, dan pujian karena pencitraan berbalik menjadi celaan. Sikap ini memungkinkan mental seseorang yang mindful lebih tenang dan seimbang. Ia tidak harus meniru keinginan orang lain, ia dapat sekadar memafhumi hal tersebut sebagai sesuatu yang menyenangkan, tidak menyenangkan, atau netral tanpa terjebak dalam pusarannya. Konsumerisme memang tidak terelakkan, namun mindfulness dapat menjadi penjaga, berperan sebagai kualitas anti-mimetic yang menghindarkan kita asal meniru ataupun menduplikasi semuanya.

References

  1. ^ riset kami (www.tandfonline.com)
  2. ^ Aspirasi materialistis (doi.org)
  3. ^ René Girard (1966) (www.press.jhu.edu)
  4. ^ atensi kolektif (arxiv.org)
  5. ^ Studi kami (doi.org)
  6. ^ mental (doi.org)
  7. ^ sosial (doi.org)
  8. ^ lingkungan (doi.org)
  9. ^ Riset kami (doi.org)
  10. ^ Timur (doi.org)
  11. ^ bersifat sementara (link.springer.com)

Authors: Cleoputri Yusainy, Associate Professor in General and Experimental Psychology, Universitas Brawijaya

Read more https://theconversation.com/menjaga-hasrat-materialistis-dan-flexing-di-media-sosial-lewat-mindfulness-251362

Magazine

Menjaga hasrat materialistis dan ‘flexing’ di media sosial lewat ‘mindfulness’

frantic00/Shutterstock● Instagram jadi ladang subur bagi budaya pamer.● Keinginan untuk memiliki sesuatu sering kali dipicu oleh orang lain.● ‘Mindfulness’ bisa menjadi r...

Berkata kasar ternyata menyehatkan mental dan otak kita

Ilustrasi seorang laki-laki sedang mengeluarkan kata-kata kasar.pathdoc/Shutterstock● Kaum muda cenderung mudah berkata kasar yang bermakna umpatan atau hinaan● Berkata kasar bermanfaat se...

Penyakit anak muda: Mengapa sering stres bisa memicu GERD?

● GERD merupakan salah satu kondisi yang umum dialami anak muda● Riset mengungkap bahwa GERD bisa dipicu oleh stres berkepanjangan● Meredakan gejala GERD akibat stres perlu dilakukan...