‘Superheroes never die’, tapi peminatnya menurun di kalangan anak muda. Mengapa?
- Written by Iwan Awaluddin Yusuf, Senior Lecturer in Department of Communications, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

● Popularitas film superhero menurun akibat kejenuhan pasar dan narasi yang berulang-ulang
● Generasi muda semakin kritis terhadap nilai dan representasi dalam film sehingga mudah resisten.
● Mendengarkan umpan balik penonton penting untuk menjaga keberhasilan film.
Dulu, menonton film superhero itu ibarat “ritual” suci yang dinanti-nanti. Banyak orang, terutama anak muda, rela antre, berburu tiket jauh-jauh hari, bahkan sampai puasa media sosial demi menghindari spoiler. Tapi sekarang, era kejayaan pahlawan super itu sepertinya mulai redup.
Genre film yang satu dekade terakhir merajai industri perfilman dunia dengan jutaan penonton dan pendapatan miliaran dolar[1] ini belakangan menunjukkan tanda-tanda penurunan[2].
Beberapa film terbaru gagal memenuhi ekspektasi box office[3] dan menuai banyak kritik[4]. Bahkan, para kritikus dan komunitas pecinta film terus memberi rating rendah[5] untuk film-film bertema pahlawan super yang baru dirilis.
Mengapa peminat film superhero menurun?
Sejak kesuksesan besar Avengers: Endgame[6] pada 2019, studio-studio besar seperti Marvel dan DC terus memproduksi film dan serial superhero dalam jumlah besar. Hingga awal 2025, setidaknya sudah ada 35 judul film superhero dari Marvel Cinematic Universe[7] dan 15 judul dari DC Extended Universe[8].
Tingginya frekuensi perilisan ini membuat banyak penonton merasa lelah dan bosan[9] karena formula cerita yang terkesan diulang-ulang[10], dengan plot dan karakter yang tidak jauh berbeda.
Situasi ini juga tidak terlepas dari meningkatnya kesadaran kritis di kalangan anak muda yang dekat dengan budaya boikot dan cancel culture[11].
Generasi muda saat ini tidak sekadar menonton, tapi mereka juga memperhatikan nilai-nilai yang diusung sebuah karya. Ini termasuk siapa yang terlibat di balik layar dan bagaimana representasi kelompok sosial tertentu ditampilkan.
Bila dianggap tidak sejalan dengan nilai keadilan sosial, inklusivitas, dan perdamaian, mereka cenderung menolak atau bahkan mengajak orang lain memboikot. Salah satu contohnya adalah seruan boikot terhadap Captain America: Brave New World[12] (2025) yang dianggap mendukung normalisasi agresi Israel di tengah konflik Israel-Palestina.
Konsistensi, bukan agenda politik
Faktor lain yang juga semakin disorot dalam penurunan minat film superhero adalah penyisipan agenda politik dan sosial secara berlebihan sehingga film kehilangan daya tarik universal sebagai tontonan keluarga.
Film Lightyear (2022)[16] misalnya, yang ditujukan untuk semua segmentasi usia, dilarang tayang di 14 negara[17], termasuk Indonesia, karena menampilkan adegan ciuman sesama jenis.
Sejumlah penonton mengkritik bagaimana film superhero saat ini lebih berfokus pada agenda representasi LGBTQ+[18], yang sering kali dianggap sebagai keputusan politis daripada kebutuhan naratif dalam cerita.
Ini misalnya terjadi pada Eternals (2021)[19], yang menghadirkan superhero LGBTIQ+ pertama dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). Meskipun film ini menawarkan efek visual yang spektakuler, banyak penonton merasa bahwa pesan sosial yang disisipkan[20] terlalu dipaksakan. Pesan tersebut sulit terhubung dengan cerita utamanya.
Namun, pujian terhadap film ini juga tak kalah banyak. Sang sutradara, Chloe Zao, memperoleh apresiasi atas keberhasilannya menggaungkan isu inklusivitas atau keberagaman[21], terutama representasi perempuan disabilitas sebagai pahlawan super.
Kontroversi[22] lain muncul dari praktik black-washing atau white-washing[23]. Istilah ini merujuk pada upaya mengubah karakter yang sudah ada dengan ras tertentu demi alasan representasi.
Beberapa film superhero[24] mengganti tokoh kulit putih dengan aktor berkulit hitam, atau sebaliknya, tanpa alasan yang kuat dalam cerita. Ini memicu reaksi negatif dari sebagian penonton yang merasa bahwa perubahan ini dilakukan semata-mata demi alasan politik, bukan demi kualitas cerita.
Contohnya adalah reaksi publik terhadap The Little Mermaid versi live-action[25]. Meskipun bukan tentang superhero, film ini menunjukkan bagaimana perubahan besar pada karakter ikonik bisa memicu reaksi keras dari penonton.
Mendengarkan umpan balik
Mendengarkan masukan dari penonton adalah salah satu faktor penting keberhasilan film. Contohnya saat trailer Sonic the Hedgehog (2020) pertama kali dirilis, banyak penggemar yang mengkritik desain karakter Sonic[26] karena dianggap terlalu jauh dari versi aslinya di gim. Pihak studio kemudian melakukan perombakan besar. Hasilnya, film Sonic the Hedgehog sukses di pasaran.
Sebaliknya, ada beberapa adaptasi film yang mengabaikan masukan penggemar dan berujung kegagalan besar. Sebut saja adaptasi live-action dari Dragon Ball Evolution[27] (2009) dan The Last Airbender[28] (2010), yang dibuat dengan pendekatan khas Hollywood tanpa mempertimbangkan esensi cerita dan karakter asli yang sudah dicintai penggemar.
Contoh terbaru terjadi ketika remake Snow White[29] (2025) produksi Disney mencatatkan rating terendah[30] di IMDb: 1,6/10. Kritik tajam [31] datang dari segala arah, bahkan sebelum film dirilis secara luas.
Di sinilah pentingnya studio mendengarkan umpan balik dari penonton dan kritikus. Pemahaman yang mendalam tentang apa yang diinginkan dan diharapkan oleh audiens bisa membantu pengembangan proyek-proyek yang lebih relevan dan menarik, tanpa mengurangi independensi sutradara.
Transparansi studio dalam proses kreatif dan keterlibatan penonton dalam tahap-tahap awal pengembangan bisa membangun kembali kepercayaan dan minat terhadap film superhero.
Penurunan popularitas film superhero bukanlah akhir dari genre ini, melainkan sebuah panggilan untuk inovasi. Dengan adaptasi dan inovasi yang tepat, film superhero bisa kembali merebut hati penonton dan mempertahankan relevansinya dalam lanskap perfilman yang terus berubah.
References
- ^ pendapatan miliaran dolar (www.the-numbers.com)
- ^ penurunan (wildcat.arizona.edu)
- ^ ekspektasi box office (variety.com)
- ^ banyak kritik (www.forbes.com)
- ^ rating rendah (www.cultura.id)
- ^ Avengers: Endgame (www.imdb.com)
- ^ Marvel Cinematic Universe (hot.detik.com)
- ^ DC Extended Universe (editorial.rottentomatoes.com)
- ^ lelah dan bosan (entertainmentstrategyguy.com)
- ^ terkesan diulang-ulang (jurno.id)
- ^ cancel culture (www.vice.com)
- ^ boikot terhadap Captain America: Brave New World (www.newsweek.com)
- ^ sudut pandang dominan laki-laki kulit putih (www.salon.com)
- ^ pesan-pesan usang yang tak lagi relevan (harvardpolitics.com)
- ^ narasi yang mendalam dan karakter yang menarik (www.slashfilm.com)
- ^ Lightyear (2022) (www.imdb.com)
- ^ dilarang tayang di 14 negara (www.tempo.co)
- ^ representasi LGBTQ+ (www.uscannenbergmedia.com)
- ^ Eternals (2021) (www.imdb.com)
- ^ pesan sosial yang disisipkan (hot.detik.com)
- ^ inklusivitas atau keberagaman (www.konde.co)
- ^ Kontroversi (voxatl.org)
- ^ black-washing atau white-washing (openworks.wooster.edu)
- ^ Beberapa film superhero (www.cbr.com)
- ^ The Little Mermaid versi live-action (thecolumnist.id)
- ^ desain karakter Sonic (www.sonora.id)
- ^ Dragon Ball Evolution (www.imdb.com)
- ^ The Last Airbender (www.imdb.com)
- ^ Snow White (www.imdb.com)
- ^ rating terendah (www.detik.com)
- ^ Kritik tajam (www.kapanlagi.com)
Authors: Iwan Awaluddin Yusuf, Senior Lecturer in Department of Communications, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta