Asian Spectator

Sinyal kejatuhan MLM dari kebangkrutan Tupperware

  • Written by Andrew Hughes, Lecturer in Marketing, Research School of Management, Australian National University
Tupperware lids

Tupperware adalah salah satu merek ikonik yang dikenal luas di seluruh Australia (termasuk juga di Indonesia).

Saya sendiri masih ingat betul bagaimana ibu saya mengadakan pesta yang hampir seluruh wadah makanannya disokong oleh Tupperware dalam beragam bentuk dan ukuran. Buat sebagian orang, kotak makanan warna-warni khas Tupperware sangat praktis untuk membawa bekal ke kantor. Tupperware juga diandalkan untuk menghangatkan makanan dengan microwave.

Jadi, nasib sial apa yang menerpa Tupperware sehingga bisa berujung pada kebangkrutan[1].

Merek ini adalah salah satu penggagas model bisnis multi-level marketing (MLM) yang paling termasyhur di dunia. Fenomena ini menjadi pertanda model MLM mendapat tekanan serius[2] di era digital seperti saat ini.

Dalam dokumen resmi di sidang kepailitan[3] kepala restrukturisasi Tupperware menuliskan:

“Hampir semua orang tahu Tupperware, tapi sekarang makin sedikit yang tahu di mana belinya”

Jadi apa itu sebenarnya MLM? Dan pelajaran apa yang bisa kita petik dari kasus Tupperware ini?

Mengenal multi-level marketing

Dalam skema MLM, kita tidak lagi menaruh barang dagangan di gerai supermarket. Sebaliknya, kita merekrut tenaga penjual/sales[4] yang memasarkan produk secara langsung kepada pembeli. Skema kerja samanya berupa komisi berdasarkan seberapa banyak mereka menjual, bukan lagi gaji tetap.

Namun yang membuatnya dinamai ‘multi-level’ adalah adanya skema insentif bagi para sales untuk merekrut sales baru. Di luar penjualan, kemampuan seorang sales MLM dalam merekrut sales baru di bawahnya—lalu di bawahnya lagi dan seterusnya—adalah indikator kenaikkan jenjang karier mereka dalam perusahaan. Bahkan komisi yang didapat dari rekrutmen sales tidak jarang lebih tinggi daripada menjual barang itu sendiri.

Tentunya, prospek metode pemasaran ini[5] terlihat sangat cerah di awal-awal kemunculannya.

Para sales di tingkat bawah termotivasi mengikuti keberhasilan sales di atasnya dalam meraup banyak insentif. Belum lagi, banyak merek MLM yang bahkan hingga kini menggelar acara penghargaan besar-besaran, merayakan penghasilan tertinggi dan terbaik mereka, sehingga makin memicu semangat para sales di tingkat bawah.

Di sisi lain, bagi pelanggan, undangan ke acara seperti ini menjadi momen seru dan unik. Pelanggan yang diundang seolah menjadi bagian dari lingkaran pertemanan seseorang. Kamu bisa bersosialisasi, bergaul, dan mungkin mengeluarkan sedikit uang untuk membantu teman.

Bagi merek, memiliki jejaring sales yang berjenjang tinggi dan bisa menggelar acara penghargaan yang mewah bisa diartikan sebagai tolak ukur keberhasilan.

MLM juga bisa menghindarkan beberapa beban biaya besar seperti sewa dan upah, yang dapat membebani model ritel tradisional saat kondisi sulit. Sistem ini terdengar sempurna, bukan?

Read more: Thinking of joining a multi-level marketing scheme or MLM as your side hustle? Read this first[6]

Sedang dalam tekanan

Penurunan penjualan dan profit para pemain besar MLM yang terjadi baru-baru ini disebabkan berbagai faktor kompleks pada makroekonomi dan budaya.

Masalah Tupperware sendiri sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir[7]. Penjualan produk entitas ini sudah seret[8] sejak kuartal III 2021. Dan puncaknya mereka harus merestrukturisasi utangnya pada tahun 2023.

Bahkan sebelum pengumuman kepailitannya ke publik, saham perusahaan yang terdaftar di bursa efek New York telah jatuh sekitar 75%[9] sepanjang tahun 2024.

Gelombang keruntuhan MLM pun makin terlihat pada bulan Agustus lalu, ketika perusahaan MLM besar lainnya, raksasa parfum dan kosmetik Avon, juga mengajukan kepailitan. Seperti Tupperware, penjualan Avon[10] juga berdarah-darah selama bertahun-tahun.

Tupperware lids
Tupperware mencoba memasarkan produknya di gerai offline. Oleksiichik/Shutterstock[11]

Apa yang sebenarnya terjadi?

Roda terus (dan harus) berputar, baik didorong oleh waktu, masyarakat, atau budaya yang terus berkembang. Perubahan itu menghantam banyak MLM raksasa[12] seperti Tupperware dan Avon yang dulu jaya menjadi menderita.

Dahulu perempuan lebih banyak yang jadi ibu rumah tangga ketimbang menjadi profesional di dunia kerja. Banyak para ibu rumah tangga ini yang mencoba peruntungan mengisi waktu luangnya dengan mengikuti MLM dan banyak yang sukses. Kisah-kisah sukses mereka memberikan berita baik tentang harapan di tengah kerasnya hidup saat membesarkan anak di pinggiran kota Australia pada pertengahan hingga akhir abad ke-20.

Tapi kini, rasio perempuan yang bekerja dengan ibu rumah tangga sudah terbalik. Alhasil skema MLM tidak lagi relevan sehingga banyak dari merek-merek ini juga harus menyesuaikan strategi mereka.

Avon sebenarnya menyadari hal ini tapi mungkin terlambat bertindak karena baru pada akhir 2023 mereka mengumumkan rencana untuk membuka toko fisik pertama di Inggris. Padahal perusahaan tersebut konsisten mengalami penurunan penjualan[13] selama dekade terakhir.

Angela Cretu, yang saat itu menjabat sebagai CEO Avon, mengatakan[14]:

“Dulu wanita tinggal di rumah, tetapi sekarang mereka pergi bekerja, dan kami harus mengikuti mereka ke mana pun mereka menghabiskan waktu dan membuat layanan ini semudah mungkin.”

Gagal tanggap mereposisi brand

Kini, mengajak teman-teman untuk membantu meningkatkan hidupmu (sebagai sales MLM) tidak lagi terasa seperti kerja sama yang menguntungkan, kecuali bagi orang yang menerima uangnya.

Tupperware mungkin adalah wadah aman untuk bekal makan siang, tetapi tetap saja itu adalah milik ibumu. Tupperware memang memiliki nuansa retro, tetapi tidak selalu memiliki nuansa “keren”.

Tupperware juga jadi korban kesuksesannya sendiri. Program garansi[15] untuk mengganti tutup secara gratis merupakan salah satu program pemasaran paling ramah konsumen yang pernah ada.

Namun, sebagai strategi pemasaran di tengah penjualan yang lesu, strategi ini menekan minat konsumer untuk membeli produk baru. Akibatnya, meskipun produk baru yang inovatif sudah dipasarkan, penjualannya pasti akan anjlok.

Belum lagi, serbuan produk serupa dari kompetitor yang menawarkan harga lebih murah dengan desain sangat mirip, juga menjadi beban bagi merek ini.

Akhirnya setelah puluhan tahun melakukan penjualan berskema MLM, Tupperware melakukan perubahan radikal[16] dengan memasukkan produknya ke rak-rak. Tapi langkah itu tidak efektif karena sudah terlalu terlambat untuk dilakukan pada tahun 2022. Sedangkan perubahan tren kepekerjaan perempuan, sosial, dan perdagangan daring sudah terjadi lebih dari satu dekade terakhir.

Ragam kerjaan dagang sampingan lain di era digital

Tupperware, seperti banyak MLM lainnya, tidak cocok dan terlambat mengantisipasi kemajuan pemasaran digital yang sudah terjadi dalam satu dekade terakhir. Pada saat yang sama, generasi baru side hustle (biasa berniaga sendiri) telah muncul dan berkembang—namun yang terpenting, dilakukan secara online.

Berbeda dengan model MLM, platform seperti Amazon atau Etsy memungkinkan seseorang memiliki toko virtual mereka sendiri[17], yang berpotensi memberikan penghasilan lebih tinggi di tahap awal.

Skema baru yang mereka lakukan tersebut mungkin masih memiliki tingkatan jenjang level, tetapi lebih mirip dengan waralaba daripada sistem berbasis tingkat. Kini, kita lebih sering mendengar istilah seperti afiliator, kolaborator, dan mitra untuk menggambarkan orang-orang di pasar daring.

Meski begitu, tetap banyak MLM tradisional yang bisa bertahan. Ikatan emosional antar merek dengan konsumen dalam MLM tetap menjadi hal yang diidamkan oleh pelaku niaga modern. Ibarat seleksi alam, tentu ada yang bisa bertahan, ada juga yang harus gugur.

Kenapa? Kuncinya adalah adaptasi dan pemahaman pasar. Pemasaran yang baik bergantung pada seberapa baik mengenali konsumen. Siapa mereka sebenarnya dan budaya apa yang memengaruhi mereka.

Bagaimanapun juga, Tupperware mungkin akan selalu memiliki tempat khusus di hati banyak orang. Atau setidaknya, tetap tersimpan baik di dalam lemari mereka.

References

  1. ^ kebangkrutan (www.reuters.com)
  2. ^ tekanan serius (edition.cnn.com)
  3. ^ dokumen resmi di sidang kepailitan (www.reuters.com)
  4. ^ merekrut tenaga penjual/sales (corporatefinanceinstitute.com)
  5. ^ metode pemasaran ini (journals.sagepub.com)
  6. ^ Thinking of joining a multi-level marketing scheme or MLM as your side hustle? Read this first (theconversation.com)
  7. ^ beberapa tahun terakhir (edition.cnn.com)
  8. ^ Penjualan produk entitas ini sudah seret (www.abc.net.au)
  9. ^ jatuh sekitar 75% (edition.cnn.com)
  10. ^ Avon (www.forbes.com)
  11. ^ Oleksiichik/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  12. ^ MLM raksasa (www.forbes.com)
  13. ^ konsisten mengalami penurunan penjualan (www.statista.com)
  14. ^ mengatakan (www.theguardian.com)
  15. ^ Program garansi (warranty.tupperware.com.au)
  16. ^ perubahan radikal (edition.cnn.com)
  17. ^ toko virtual mereka sendiri (ecommerce-platforms.com)

Authors: Andrew Hughes, Lecturer in Marketing, Research School of Management, Australian National University

Read more https://theconversation.com/sinyal-kejatuhan-mlm-dari-kebangkrutan-tupperware-240471

Magazine

Meningkatnya konflik di Timur Tengah setahun terakhir menandai mulainya era baru arus pengungsi regional

Ratusan ribu orang melarikan diri dari Lebanon ke Suriah yang tengah dilanda perang saudara.Louai Beshara/AFP via Getty ImagesKonflik antara militer Israel dan Hamas di Jalur Gaza, Palestina, yang tel...

Sinyal kejatuhan MLM dari kebangkrutan Tupperware

Tupperware adalah salah satu merek ikonik yang dikenal luas di seluruh Australia (termasuk juga di Indonesia).Saya sendiri masih ingat betul bagaimana ibu saya mengadakan pesta yang hampir seluruh wad...

Kepribadian bukan takdir: penelitian membuktikan kita bisa mengubahnya

seorang wanita sedang melihat dirinya sendiri di cermin.lechatnoir/E+ via Getty ImagesApakah kamu pernah mengikuti tes kepribadian? Jika kamu seperti saya, mungkin kamu pernah mencoba kuis di BuzzFeed...



NewsServices.com

Content & Technology Connecting Global Audiences

More Information - Less Opinion