Bukan harta, warisan penting yang bisa diberikan ayah adalah kehadiran dan keterlibatan dalam pengasuhan
- Written by Ari Pratiwi, PhD candidate, The University of Queensland
Selama berpuluh tahun, di banyak negara[1] termasuk Indonesia[2], ayah dianggap sebagai sosok pendisiplin yang memiliki jarak secara emosi dengan anak-anaknya. Sosok ayah masih lekat dipandang sebagai financial provider atau main breadwinner. Karena itu, ayah kerap dianggap sebagai sosok otoriter pemegang aturan[3].
Meskipun dalam masyarakat modern peran pengasuhan ayah sudah mulai digaungkan, kajian tentang pengasuhan ayah di Indonesia masih terbatas[4], sehingga peran laki-laki sebagai ayah dalam pengasuhan pun masih terlihat terbatas.
Sebagai akademisi bidang psikologi yang fokus pada isu pengasuhan dalam keluarga, saya melakukan focus group discussion (FGD) dengan 28 ayah. Kisaran usia responden adalah 26–50 tahun, dengan rata-rata usia 35 tahun. Ini adalah usia Generasi X dan Generasi Y atau milenial–generasi yang saat ini tengah berperan mendidik dan mengasuh anak-anak mereka yang berusia antara 0–20 tahunan.
Fokus diskusi ini adalah mencari tahu respons dan pendapat mereka terhadap pengasuhan yang mereka terima dari ayah mereka masing-masing dulu.
FGD tersebut menemukan bahwa mayoritas responden mengakui tidak dekat dengan ayah mereka semasa kecil sehingga mereka tidak mendapat kasih sayang yang cukup dari sosok ayah.
Bagi mereka, kehadiran peran ayah kala itu sangat kurang dan mereka sangat ingin memutus rantai ketidakterlibatan ayah tersebut. Mereka telah menerima pola pengasuhan di mana keterlibatan ayah sangat minim–sehingga mereka tidak mau mewariskan hal yang sama ke generasi berikutnya.
Keinginan memutus rantai
Mayoritas dari para ayah yang mengikuti FGD menyatakan bahwa semasa mereka kecil, ayah mereka sibuk bekerja dan jarang ada di rumah. Bila pun ada di rumah, ayah tidak menjalin komunikasi dengan anak-anaknya. Keterlibatan ayah mereka dalam pengasuhan di rumah juga sangat minim.
Secara teori, keterlibatan ayah dalam pengasuhan[5] dapat dilihat dari engagement (bagaimana ayah terlibat secara langsung dengan anak misalnya menyuapi, bermain bersama), accessibility (bagaimana ayah bisa diakses oleh anak saat dibutuhkan, misalnya ayah bekerja dari rumah sementara anak bermain di sebelahnya sehingga ketika anak butuh bertanya bisa langsung bertanya pada ayah), dan responsibility (bagaimana ayah memenuhi kebutuhan anak, misalnya membuat janji dengan dokter dan mengantar ke rumah sakit saat anak sakit).
Sayangnya, secara konstruksi sosial, bentuk keterlibatan ayah yang termasuk dalam kewajiban hanyalah sebagai pemberi nafkah[6] atau tulang punggung keluarga.
Konsekuensinya, sebagian dari responden merasa menjadi terlalu permisif–karena tidak mendapat kasih sayang yang cukup–atau harus belajar menjadi ayah dari sosok lain yang bukan ayah mereka. Mereka seakan tidak punya panutan ketika menjadi orang tua.
Kabar baiknya, para responden mengakui bahwa mereka ingin memutus rantai ketidakterlibatan ayah dalam hidup anak mereka. Mereka berkeinginan besar untuk terlibat dalam kehidupan anak mereka, karena menyadari betapa pentingnya peran ayah dalam kehidupan anak.
Hasil FGD ini memberikan gambaran bagaimana generasi muda saat ini sudah mulai sadar akan pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak di rumah, sehingga mereka berkehendak menyiapkan warisan pengasuhan yang lebih baik yang akan diturunkan kepada generasi selanjutnya.
Warisan pengasuhan
Secara teori psikologi, pengasuhan dalam keluarga dapat diturunkan secara langsung maupun tidak langsung[7].
Pengasuhan secara langsung dibahas dalam teori social learning[8]. Menurut teori ini, anak mengamati dan merasakan sendiri pengasuhan yang dilakukan orang tuanya, lalu mempelajari hal tersebut. Apabila pengasuhan yang diterimanya positif, maka ia akan melanjutkan pengasuhan positif. Sebaliknya, bila pengasuhan yang diterimanya negatif, ia juga akan melanjutkan pengasuhan negatif.
Sebagai contoh, bila seseorang diperlakukan kasar saat anak-anak, mereka juga akan memerlukan anak-anaknya dengan kasar. Ketika mereka dipukul atau dibentak oleh orang tuanya, mereka akan berpikir bahwa membentak dan memukul adalah perilaku wajar dan normal dalam mendisiplinkan anak.
Namun, bisa juga yang terjadi adalah sebaliknya. Menurut teori compensation[9] atau kompensasi, ada anak yang ketika menerima pengasuhan yang kurang dekat dari ayahnya, atau bisa dibilang keterlibatan ayahnya dalam pengasuhan rendah, maka ia akan cenderung mengompensasi perasaan kurang dekat dengan ayahnya. Ini dilakukannya dengan cara berusaha menjadi dekat dengan anaknya ketika menjadi ayah.
Sementara itu, terkait pengasuhan yang diturunkan secara tidak langsung, riset[10] menunjukkan bahwa pengasuhan ayah yang tidak dekat atau cenderung otoriter, akan menyebabkan masalah perilaku pada remaja, terutama remaja laki-laki. Ini misalnya dalam bentuk level perilaku agresif yang cenderung tinggi. Konsekuensinya, ketika menjadi ayah, anak tersebut akan cenderung memiliki sikap keras dan agresif terhadap anak-anak mereka.
Sedangkan pengasuhan yang lebih demokratis namun ada kontrol, lebih menyebabkan perkembangan yang positif pada remaja. Sebagai contoh, mereka akan lebih mampu berpartisipasi secara sosial, memiliki konsep diri yang positif dan pencapaian akademis yang baik. Pada akhirnya, ketika remaja ini tumbuh menjadi ayah, mereka akan lebih memiliki sikap yang positif pula dalam mengasuh.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan ayah yang dekat dengan ayahnya, akan cenderung dekat dengan anaknya pula. Sedangkan yang tidak dekat dengan ayahnya, memiliki kecenderungan tidak dekat dengan anaknya, atau mengompensasi hal tersebut dengan berusaha dekat dengan anaknya.
Pentingnya evaluasi
Agar seorang anak yang mendapat pengasuhan negatif dari ayahnya dapat menjadi lebih positif dalam mengasuh anak-anaknya sendiri, dia perlu melakukan evaluasi[11]. Ini juga dapat diterapkan oleh anak yang semasa kecil kurang dekat dengan ayahnya, lalu ingin dekat dengan anaknya nanti.
Dalam proses evaluasi, calon ayah atau ayah mengevaluasi pengasuhan yang diterimanya, lalu mengambil keputusan apakah akan mengikuti pola pengasuhan ayah mereka, atau meninggalkan pola negatif dan mengubahnya menjadi lebih positif.
Proses evaluasi ini merupakan proses psikologis yang tentunya tidak semudah yang dibayangkan, karena seakan mereka harus “lepas” dari sosok panutan mereka sendiri.
Dalam proses evaluasi ini, seseorang dapat merujuk pada sosok lain yang dapat memberinya aspirasi dan motivasi untuk terlibat dalam pengasuhan yang lebih baik kepada anak-anaknya. Salah satunya melalui sosok ayah sosial[12], yakni sosok ayah yang memainkan peran sebagai ayah dalam hidup seseorang namun bukan ayah biologis, misalnya kakek atau saudara lainnya.
Menurut para partisipan dalam FGD saya, mereka sering juga merujuk pada ayah dari teman mereka, paman, ipar laki-laki dan kolega mereka di kantor. Bahkan pemuka agama, pemimpin masyarakat atau guru, juga bisa menjadi ayah sosial.
Para ayah sosial ini dapat menurunkan masalah perilaku pada anak dan meningkatkan perilaku prososial. Jadi, idiom “perlu orang satu kampung untuk mendidik anak” adalah benar adanya.
Ketiadaan sosok ayah biologis, sebenarnya bisa digantikan oleh sosok ayah lain. Maka, apabila para sosok ayah dalam masyarakat tidak bisa memberikan contoh perilaku yang baik, warisan perilaku negatif tidak hanya datang dari satu sosok ayah dalam keluarga, melainkan dari satu generasi masyarakat ke generasi masyarakat selanjutnya.
Manfaat keterlibatan ayah dalam pengasuhan
Banyak penelitian menyebutkan bahwa keterlibatan ayah berpengaruh pada perkembangan sosio-emosional[13] yang lebih positif, keterampilan kognitif[14], dan kesuksesan akademik anak.
Memang, kenyataan di lapangan tentu bervariasi dan tidak semua ideal. Banyak ayah yang harus jauh dari keluarga atau tidak banyak terlibat karena jenis pekerjaan dan waktu kerja yang panjang. Namun, banyak penelitian[15] menyatakan bahwa status tempat tinggal ayah tidak berpengaruh terhadap keterlibatan ayah. Artinya, ayah tetap dapat terlibat dalam pengasuhan walaupun jauh dari anak-anak mereka secara fisik, terutama dalam hal responsibilitas dan aksesibilitas.
Ada di antara partisipan FGD saya yang memilih bekerja dari mana saja, misalnya konsultan dan peneliti, atau jenis pekerjaan yang memungkinkan mereka untuk dapat terus bersama keluarga, misalnya wiraswasta. Mereka juga menyiasati proses aksesibilitas dengan cara mengutamakan keluarga, misalnya mengajukan cuti saat diperlukan atau minta izin dari kantor saat ada acara di sekolah anak atau waktunya menjemput anak.
Kesimpulannya, pola keterlibatan ayah dan kualitas relasi ayah-anak dibentuk pada satu generasi dan diturunkan dari generasi ke generasi. Mempromosikan perilaku positif pada ayah dan keterlibatan ayah dalam pengasuhan adalah hal yang harus dilakukan secara masif dan berkesinambungan demi masa depan yang lebih baik.
References
- ^ di banyak negara (link.springer.com)
- ^ Indonesia (www.tandfonline.com)
- ^ sosok otoriter pemegang aturan (www.tandfonline.com)
- ^ masih terbatas (psycnet.apa.org)
- ^ keterlibatan ayah dalam pengasuhan (psycnet.apa.org)
- ^ sebagai pemberi nafkah (journals.sagepub.com)
- ^ secara langsung maupun tidak langsung (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ social learning (journals.sagepub.com)
- ^ compensation (psycnet.apa.org)
- ^ riset (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ evaluasi (journals.sagepub.com)
- ^ ayah sosial (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ sosio-emosional (onlinelibrary.wiley.com)
- ^ keterampilan kognitif (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ banyak penelitian (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
Authors: Ari Pratiwi, PhD candidate, The University of Queensland