Pendidikan literasi digital jauh lebih efektif daripada aturan larangan medsos bagi anak
- Written by Susan Grantham, Lecturer in Communication, Griffith University
Diberlakukannya aturan tentang larangan menggunakan media sosial (medsos) bagi anak di bawah usia 16 tahun[1] oleh pemerintah federal Australia memicu perdebatan luas.
Australia menjadi negara pertama di dunia yang memberlakukan aturan larangan medsos bagi anak. Undang-undang terkait larangan tersebut resmi disahkan pada 29 November 2024 dan aturan sudah mulai diuji coba sejak Januari 2025, sebelum resmi berlaku penuh 12 bulan setelah disahkan.
Kebijakan ini akan berdampak pada jutaan anak muda, keluarga, dan pendidik di negara tersebut. Namun, apakah aturan ini akan benar-benar efektif?
Meskipun tujuan dari larangan ini[2] adalah melindungi anak-anak dari ancaman kekerasan daring, kebijakan ini tampaknya lebih merupakan reaksi untuk meraih dukungan politik saja.
Di era digital seperti sekarang, kemajuan teknologi terus berkembang dan komunikasi daring telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Mengajarkan anak-anak tentang penggunaan internet secara aman, rasanya akan jauh lebih efektif ketimbang melarang mereka menggunakan medsos. Pendekatan ini tidak hanya melindungi anak-anak dari bahaya, tetapi juga memastikan mereka tetap melek teknologi.
Di Australia, beberapa pihak telah menyuarakan kekhawatiran mereka. Anggota parlemen independen Zoe Daniel, misalnya, menyoroti[3] potensi meningkatnya konten tidak aman di medsos. Menurutnya, orang dewasa akan merasa lebih bebas berbagi apa pun di medsos setelah anak-anak dilarang mengakses platform tersebut:
“Apa yang kita lakukan adalah seperti mengatakan, ‘Baiklah, kami akan mengunci semua anak di bawah usia 16 tahun, dan kemudian membiarkan orang dewasa melakukan apa pun yang mereka inginkan di sana’. Kita juga tahu bahwa beberapa anak tetap akan menemukan cara untuk mengaksesnya.”
Daniel bukan satu-satunya yang menyuarakan kritik. Mantan anggota Partai Buruh yang kini menjadi Senator independen dari Australia Barat, Fatima Payman, juga menyuarakan keprihatinan serupa. Dengan menggunakan istilah slang TikTok, ia menekankan bahwa kaum muda sering merasa suara mereka tidak didengar oleh parlemen.
Mengapa larangan bermedsos adalah pendekatan yang keliru
Bagi anak muda, medsos adalah tempat mereka menjalani sebagian besar kehidupan sosial. Melarang akses ini sepenuhnya dapat memutus hubungan mereka dengan teman sebaya dan berdampak negatif pada kesejahteraan sosial mereka.
Penelitian terhadap siswa sekolah menengah internasional[4] membuktikan bahwa anak-anak yang tinggal jauh dari keluarga dan teman lebih rentan mengalami kesepian dan isolasi sosial. Meski penelitian ini berfokus pada siswa internasional, temuan tersebut relevan untuk memahami risiko yang dihadapi anak muda secara umum.
Selain itu, melarang akses medsos hingga anak berusia 16 tahun juga tidak menjamin perlindungan dari konten berbahaya. Anak-anak justru bisa menghadapi risiko yang lebih besar saat mereka pertama kali terekspos konten medsos tanpa pembekalan yang memadai.
Contoh terbaru misalnya, belum lama ini pemerintah Australia mencabut visa seorang bintang OnlyFans yang mencoba merekrut remaja laki-laki berusia 18 tahun di acara “schoolies” untuk membuat konten di laman OnlyFans-nya.
Sementara visa bintang OnlyFans itu dicabut[5], kreator OnlyFans lain yang berbasis di Australia[6] telah memposting konten di TikTok yang menunjukkan video para pemuda mengantre untuk bertemu mereka.
Jadi, meskipun kasusnya sudah ditangani, perilaku predator serupa bisa terus muncul. Tanpa pendidikan atau sistem pendukung yang tepat, anak-anak tidak akan siap mengenali dan menghadapi risiko tersebut.
Kalau anak-anak tidak diberi kesempatan untuk belajar menavigasi media sosial sebelum usia 16 tahun, bagaimana mereka akan menghadapi risikonya setelah itu? Dalam hal ini, menurut saya, pendidikan tentang ketahanan digital menawarkan solusi yang lebih berkelanjutan.
Pendekatan Finlandia
Finlandia adalah contoh negara yang memiliki pendekatan komprehensif dan terpadu dalam pendidikan literasi digital. Sistem dirancang untuk membekali warga negara dari segala usia dengan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi dunia digital secara efektif.
Sistem pendidikan Finlandia mengintegrasikan literasi digital[7] sebagai elemen dasar dalam kurikulum mereka. Finlandia mengajarkan teknologi di semua jenjang pendidikan untuk mempersiapkan siswa menghadapi era digital.
Sejak taman kanak-kanak[8], siswa diperkenalkan dengan alat digital, keamanan siber, dan teknologi untuk mempelajari perilaku online yang bertanggung jawab. Akademisi Finlandia Sirkku Lähdesmäki dan Minna Maunula[9], menekankan bahwa:
“Menciptakan hubungan yang aman dan memberdayakan anak dengan media digital adalah tanggung jawab bersama dalam pendidikan yang memerlukan partisipasi aktif dari sekolah dan keluarga.”
Dengan mengintegrasikan literasi digital dalam sistem pendidikan, keterampilan tersebut tidak diajarkan secara terpisah, melainkan menjadi bagian dari keseluruhan proses pembelajaran.
Literasi digital di Finlandia tidak hanya terbatas pada sekolah formal. Perpustakaan umum dan pusat-pusat komunitas juga menyediakan program-program pengembangangan keterampilan bagi orang dewasa[10], memastikan bahwa literasi digital adalah pembelajaran sepanjang hayat. Bagi Finlandia, kompetensi digital adalah keterampilan kewarganegaraan[11].
Pendekatan ini telah dilakukan selama satu dekade, dengan keberhasilan yang cukup besar. Pada 2014, sebagai tanggapan atas maraknya misinformasi, pemerintah Finlandia meluncurkan inisiatif anti-hoaks[12] yang bertujuan untuk mengajari warga, pelajar, jurnalis, dan politisi tentang cara melawan informasi palsu yang dapat memecah belah masyarakat.
Inisiatif ini merupakan bagian dari pendekatan lintas sektoral untuk mempersiapkan warga negara dari segala usia dalam menghadapi lanskap digital yang kompleks.
Selain itu, sistem pendidikan direformasi[13] untuk menekankan pentingnya pemikiran kritis. Siswa diajarkan mengidentifikasi bot, mengenali manipulasi gambar dan video, serta memahami ciri akun palsu.
Upaya ini terbukti efektif, dengan Finlandia menduduki peringkat pertama dari 35 negara dalam indeks literasi media digital[14] selama enam tahun berturut-turut.
Disamakan dengan merokok
Beberapa politisi di Australia menyamakan dampak negatif penggunaan media sosial dengan merokok dalam hal sifat adiktif dan potensi bahayanya. Perdana Menteri Australia Selatan Peter Malinauskas misalnya mengatakan[15]:
“Bukti menunjukkan bahwa akses dini ke media sosial yang membuat ketagihan membahayakan anak-anak kita […] Ini tidak berbeda dengan rokok atau alkohol. Ketika sebuah produk atau layanan membahayakan anak-anak, pemerintah harus bertindak.”
Perbandingan medsos dengan rokok menunjukkan tantangan jangka panjang dalam mengatasi masalah ini. Proporsi warga Australia berusia 14 tahun ke atas yang pernah merokok memang telah menurun secara signifikan selama dua dekade terakhir[16]. Namun, keberhasilan ini merupakan hasil dari kampanye perubahan jangka panjang[17] yang dilakukan pemerintah sejak tahun 1990-an. Dan keberhasilan ini tidak terlepas dari kampanye pendidikan publik yang terpadu.
Usulan pemerintah untuk melarang media sosial terlalu menyederhanakan masalah yang kompleks. Perlindungan anak muda membutuhkan solusi jangka panjang seperti literasi digital, pilihan yang tepat, peningkatan kesadaran, dan kebijakan perlindungan yang kuat—bukan langkah instan jangka pendek yang terburu-buru dan berlebihan.
References
- ^ larangan menggunakan media sosial (medsos) bagi anak di bawah usia 16 tahun (theconversation.com)
- ^ tujuan dari larangan ini (theconversation.com)
- ^ menyoroti (www.theguardian.com)
- ^ siswa sekolah menengah internasional (doi.org)
- ^ visa bintang OnlyFans itu dicabut (www.news.com.au)
- ^ kreator OnlyFans lain yang berbasis di Australia (www.boredpanda.com)
- ^ Sistem pendidikan Finlandia mengintegrasikan literasi digital (finlandeducationhub.com)
- ^ taman kanak-kanak (www.oph.fi)
- ^ Sirkku Lähdesmäki dan Minna Maunula (infonomics-society.org)
- ^ program-program pengembangangan keterampilan bagi orang dewasa (toolbox.finland.fi)
- ^ kompetensi digital adalah keterampilan kewarganegaraan (www.oph.fi)
- ^ meluncurkan inisiatif anti-hoaks (edition.cnn.com)
- ^ sistem pendidikan direformasi (edition.cnn.com)
- ^ indeks literasi media digital (osis.bg)
- ^ mengatakan (www.premier.sa.gov.au)
- ^ menurun secara signifikan selama dua dekade terakhir (www.aihw.gov.au)
- ^ kampanye perubahan jangka panjang (www.health.gov.au)
Authors: Susan Grantham, Lecturer in Communication, Griffith University