Riset temukan mahalnya ongkos politik caleg dalam pemilu. Apa saja peruntukannya?
- Written by Ella Syafputri Prihatini, Assistant Professor, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Semua individu berpeluang untuk berkompetisi dalam pemilihan umum (pemilu) dan menjadi wakil rakyat. Ini merupakan janji demokrasi menciptakan keterwakilan yang lebih luas dalam seluruh proses pengambilan keputusan politik.
Namun, pada kenyataannya, biaya politik (cost of politics) yang terus melambung membuat hanya segelintir[1] orang yang bisa bertarung dan menang dalam kontes politik.
Wakil Ketua DPR RI periode 2009-2014, Pramono Anung, pernah menghitung bahwa rata-rata biaya kampanye calon anggota legislatif (caleg) DPR naik 1,5 kali lipat[2], dari Rp3,3 miliar pada Pemilu 2009 menjadi Rp4,5 miliar pada Pemilu 2014. Ia menaksir, biaya terkecil yang dikeluarkan seorang calon anggota DPR adalah Rp300 juta, sementara yang terbesar Rp6 miliar.
Menurut Pramono, biaya kampanye bergantung kepada popularitas dan modal sosial caleg. Figur terkenal seperti artis dan aktivis cenderung mengeluarkan biaya lebih rendah daripada figur dari kalangan pengusaha.
Dalam riset[3] yang melibatkan caleg DPR-RI dari berbagai partai yang berlaga dalam Pemilu 2024, kami mencoba memahami berbagai jenis biaya, faktor-faktor pendorong besarnya biaya, serta dampak ongkos politik yang mahal ini terhadap demokrasi di Indonesia.
Responden di kajian kami terdiri atas 28% laki-laki dan 72% perempuan. Sebanyak 11% di antara mereka adalah caleg berusia di bawah 40 tahun.
Hasil studi kami menunjukkan bahwa para caleg memang harus mengeluarkan biaya yang fantastis untuk bisa mengikuti pemilu legislatif (Pileg). Rata-rata nominal yang mereka keluarkan tidak jauh berbeda dari taksiran Pramono Anung yaitu mencapai Rp5 miliar, dengan angka paling sedikit berkisar Rp200 juta.
Namun kami juga mendapati informasi yang menyebutkan bahwa seorang caleg di Jakarta menghabiskan Rp160 miliar sampai terpilih. Sementara caleg petahana yang rutin menyalurkan program-program pemerintah sedikitnya mengeluarkan dana sampai Rp20 miliar.
Ongkos politik ini dikeluarkan secara bertahap selama empat tahapan pemilu, yakni pencalonan, kampanye, pemilihan, dan pasca-pemilihan.
Tahap pencalonan
Di tahap pencalonan, caleg berlomba mendapatkan nomor urut teratas. Ini karena lebih dari 80%[4] mereka yang terpilih menempati nomor urut satu atau dua di kertas surat suara. Secara psikologis, posisi teratas di daftar caleg menjadi kode kuat bagi pemilih[5] bahwa caleg itulah yang paling diunggulkan oleh partai. Selain tentunya, faktor kemudahan bagi pemilih untuk mencoblos yang paling mudah terlihat mata.
Praktik beli nomor urut menjadi sangat lazim terjadi. Dan dengan kondisi umum di mana laki-laki memiliki sumber daya ekonomi serta koneksi politik yang lebih kuat daripada perempuan, maka caleg laki-laki cenderung mendominasi[6] posisi puncak daftar kandidat.
Pengeluaran lain yang cukup signifikan di tahap ini adalah survei elektabilitas. Hasil survei akan menjadi alat tawar kepada partai agar memberikan nominasi kepada caleg. Biayanya tergantung lokasi. Semakin ke timur Indonesia semakin mahal mengingat logistik dan tingkat kesulitan akses.
Tahap kampanye
Di tahap kampanye, caleg juga mengeluarkan biaya yang sangat banyak untuk membeli alat peraga kampanye (APK) seperti spanduk, kaos, dan atribut kampanye lainnya. Mereka juga harus membayar tim sukses di semua tingkat demi menggaet dan mengawal pemilih. Besarnya tim sukses tergantung kemampuan caleg, ada yang mengaku 2.000 orang dan ada yang sampai 12.000 orang.
Pengeluaran APK tidak hanya terbatas berupa biaya cetak, tetapi juga biaya logistik pengiriman, dan pengamanan agar poster dan spanduk tidak dirusak atau dihilangkan. Salah satu responden kami menyebutkan bahwa biaya ATK bisa mencakup 45% dari total biaya kampanye.
Caleg juga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mengumpulkan massa agar mau hadir ke acara sosialisasinya. Paling minim mereka harus menyediakan hadiah berupa minyak goreng, kerudung, dan beberapa hal lain yang kerap diminta calon pemilih.
Tahap pemilihan
Di tahap ketiga, yakni pemilihan, beberapa responden secara terbuka mengakui telah membagikan uang dalam amplop untuk membeli suara melalui tim kampanye mereka. Nominalnya berkisar antara Rp100–500 ribu.
Responden lainnya mengklaim hanya lawan politik mereka yang melakukan itu. Meskipun tindakan ini melanggar Undang-undang Pemilu, namun nyatanya sudah menjadi praktik yang lazim terjadi. Terbatasnya pendidikan pemilih dan kesulitan ekonomi dipandang sebagai dua faktor utama yang berkontribusi terhadap normalisasi pembelian suara.
Pos lain yang tak kalah mahalnya adalah biaya saksi. Mengingat masalah integritas pemilu yang masih saja terjadi, membayar saksi pemantau TPS dan pusat penghitungan suara untuk memastikan akurasi pencatatan raihan suara menjadi kebutuhan penting selama tahapan ini.
Untuk meminimalisir kecurangan, partai politik pun menyiapkan saksi-saksi mereka sendiri yang tugasnya melindungi raihan suara. PDI-P[7], partai pemenang tiga Pileg sejak 2014, pernah melakukan kalkulasi bahwa seorang saksi rata-rata dibayar Rp100.000 untuk melaksanakan tugasnya. Jika dikalikan dengan jumlah saksi yang disiapkan PDI-P, minimal anggaran yang dibutuhkan adalah Rp1,4 triliun dan dana ini ditarik dari para caleg dan kader PDI-P yang bertugas di eksekutif, legislatif, dan jajaran pengurus.
Tahap pasca-pemilihan
Di tahapan terakhir, pasca-pemilihan, pengeluaran politik terus terjadi. Bila bersengketa dengan KPU, maka caleg harus membayar biaya-biaya terkait dengan gugatan. Sementara bila terpilih dan bertugas sebagai anggota DPR-RI, mereka dibanjiri permintaan dari konstituen mereka dalam bentuk uang, barang, alokasi beasiswa, program atau hibah pemerintah untuk daerah pemilihan (dapil).
Anggota DPR harus responsif terhadap permintaan konstituen. Sebab, mereka yang sedang menjabat harus mempertahankan dukungan politik yang stabil dari para pemilih agar bisa kembali duduk di parlemen pada periode berikutnya.
Investasi politik ini bisa didanai oleh berbagai program kerja yang melekat terhadap anggota DPR dan program pemerintah yang distribusinya dapat dialirkan kepada dapil lewat para anggota parlemen. Salah satu responden menyebutkan sekitar 20% program Kementerian/Lembaga kerap didistribusikan lewat aggota DPR ke masing-masing dapil.
Di sinilah keuntungan petahana dalam kontestasi pemilu. Tidak hanya membantu mengurangi biaya kampanye, status petahana juga meningkatkan peluang keberhasilan di pemilu.
Jika pada 2009 sebanyak 25,2% anggota DPR terpilih adalah petahana, pada 2024 proporsinya melonjak menjadi 56%[8].
Pelemahan demokrasi
Tingginya biaya untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik mencerminkan kelemahan institusional dan struktural dalam menjamin persaingan yang adil, setara, dan demokratis.
Pendekatan prosedural tiap partai politik, yang didorong oleh tujuan mereka mengamankan kekuasaan di parlemen, telah menghambat mobilitas politik bagi caleg yang tidak mempunyai modal dan koneksi yang kuat. Kesimpulan ini didukung oleh data bahwa jumlah petahana dan politikus dari keluarga politik[9] telah meningkat secara signifikan sejak 1999.
Pemilu semakin menjadi kontes popularitas daripada proses yang berpusat pada perdebatan ideologis atau komitmen kebijakan. Anggota parlemen lebih fokus pada agenda pembangunan yang meningkatkan peluang mereka untuk terpilih kembali, daripada keputusan-keputusan penting yang diperlukan untuk meningkatkan pembangunan secara lebih luas. Akibatnya, kualitas diskusi demokratis di semua level pun mengalami penurunan.
References
- ^ segelintir (www.annualreviews.org)
- ^ naik 1,5 kali lipat (www.beritasatu.com)
- ^ riset (www.costofpolitics.net)
- ^ lebih dari 80% (www.sciencedirect.com)
- ^ kode kuat bagi pemilih (www.sciencedirect.com)
- ^ laki-laki cenderung mendominasi (www.metrotvnews.com)
- ^ PDI-P (www.kompas.id)
- ^ 56% (www.kompas.id)
- ^ petahana dan politikus dari keluarga politik (www.kompas.id)
Authors: Ella Syafputri Prihatini, Assistant Professor, Universitas Muhammadiyah Jakarta