Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Perlukah menghilangkan jejak digital? Ada dilema dalam menyeimbangkan hak atas privasi dan hak atas informasi

  • Written by M. Irfan Dwi Putra, Junior Researcher at Center for Digital Society (CfDS), Universitas Gadjah Mada
Perlukah menghilangkan jejak digital? Ada dilema dalam menyeimbangkan hak atas privasi dan hak atas informasi

Pemerintah saat ini tengah menyusun peraturan pelaksana[1] dari Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP)[2]

Meskipun peraturan pelaksana ini belum ditetapkan, norma-norma dalam UU PDP sudah berlaku dan mengikat secara hukum. UU PDP mengatur tata kelola data pribadi di Indonesia yang meliputi ketentuan mengenai hak subjek data pribadi, kewajiban pengendali dan prosesor data pribadi, transfer data pribadi (cross-border data flow), otoritas data pribadi, dan sanksi-sanksi.

Pada bagian hak subjek data pribadi, tepatnya Pasal 8, UU PDP mengatur hak atas penghapusan dan pemusnahan data atau yang sering disebut sebagai hak untuk dilupakan (right to be forgotten[3]). Indonesia mengadopsi konsepsi hak untuk dilupakan dari regulasi data Uni Eropa (GDPR[4]). Pada intinya, hak ini memungkinkan seseorang untuk menghapus dan memusnahkan data tentang dirinya yang ada pada pengendali data pribadi.

Di era digital saat ini, hak untuk dilupakan menjadi sangat penting karena dapat memberikan pelindungan privasi yang lebih baik kepada individu. Namun, implementasinya berpotensi menimbulkan permasalahan, karena dapat disalahgunakan untuk menghapus jejak kriminal sehingga menghalangi publik untuk mengakses informasi tersebut.

Pemerintah sebaiknya mencari cara untuk menyeimbangkan terakomodasikan hak atas untuk dilupakan dan hak atas informasi. Perlu ada menetapkan batasan yang jelas untuk memastikan bahwa hak privasi individu tetap terlindungi, tanpa mengabaikan kebutuhan masyarakat untuk mengakses informasi yang relevan dan penting.

Signifikansi hak untuk dilupakan di era digital

Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan internet, hak untuk dilupakan semakin signifikan. Sebab, ketika suatu informasi sudah terpublikasi di internet, informasi tersebut dapat diakses dengan mudah oleh siapa pun dan bertahan secara permanen, bahkan setelah informasi tersebut tidak lagi relevan atau akurat. Inilah yang kerap kita sebut sebagai jejak digital yang abadi[5]. Ada kalanya, sifat keterbukaan dan permanen dari internet ini dapat merugikan privasi dan reputasi individu di kemudian hari.

Hak untuk dilupakan membuat individu bisa menghapus informasi tentang dirinya yang sudah tidak relevan di internet. Hak ini juga memungkinkan seseorang untuk menghapus data pribadi dirinya yang dipublikasi di internet tanpa persetujuannya. Singkatnya, dengan adanya hak ini, seseorang jadi memiliki kontrol yang lebih besar atas privasinya di internet.

Indonesia sebenarnya sudah mengakui hak untuk dilupakan sejak revisi pertama UU ITE[6] pada tahun 2016, tepatnya pada Pasal 26 Ayat 3. Dalam ketentuan tersebut, penghapusan data dimungkinkan melalui penetapan pengadilan. Setelah diundangkannya UU PDP, penghapusan data tidak lagi perlu diajukan ke pengadilan, melainkan dimintakan ke pengendali data pribadi.

Berdasarkan rezim UU PDP, hak untuk dilupakan diwujudkan ke dalam dua jenis hak, yaitu hak atas penghapusan dan pemusnahan data pribadi. Penghapusan data pribadi bermakna bahwa data tersebut dihapus sehingga tidak lagi bisa diakses pihak lain selain oleh pengendali data pribadi. Sementara itu, pemusnahan data pribadi bermakna bahwa data tersebut dilenyapkan sepenuhnya sehingga tidak bisa lagi digunakan untuk mengidentifikasi seseorang.

Hak untuk dilupakan: Melupakan jejak kriminal?

Pasca-putusan CJEU tahun 2014, dua permintaan penghapusan data yang diterima Google pertama kali berasal dari mantan politikus dan narapidana pedofilia[7]. Keduanya menginginkan agar situs yang memuat informasi kasus mereka dihapus dari mesin pencarian. Kasus tersebut merefleksikan bagaimana hak ini berpotensi disalahgunakan untuk menghapus jejak kriminal sehingga menghalangi publik untuk mengakses informasi tersebut.

Padahal, akses atas informasi juga menjadi hak yang tak kalah penting untuk memastikan terciptanya transparansi dan akuntabilitas dalam kehidupan sosial politik masyarakat. Dengan keterbukaan informasi, publik bisa memilih wakilnya di parlemen berdasarkan rekam jejaknya, memantau kinerja pejabat, hingga mengawasi mantan kriminal.

Jika hak untuk dilupakan bisa mengesampingkan hal-hal tersebut, hak publik atas informasi akan terbatas. Pada titik ini, hak untuk dilupakan sebagai bagian dari hak atas privasi berbenturan dengan hak atas informasi.

Mencari titik seimbang

Sulit untuk menemukan titik keseimbangan di antara keduanya. Terlebih lagi, UU PDP tidak lagi mengharuskan adanya penetapan pengadilan sebagai syarat untuk menghapus data pribadi. Artinya, keputusan tentang bisa atau tidaknya suatu data pribadi dihapus dan dimusnahkan bergantung pada pertimbangan pengendali data pribadi.

Di Uni Eropa, GDPR memberikan pengecualian[8] terhadap implementasi hak untuk dilupakan. Hak ini dilimitasi (dibatasi) ketika bertentangan dengan hak atas kebebasan berekspresi dan akses informasi, kepentingan umum, dan hukum. Lebih lanjut, European Data Protection Board atau otoritas PDP Uni Eropa juga memberikan pedoman secara spesifik kepada perusahaan mesin pencarian[9] terkait penghapusan data pribadi. Pedoman ini memuat penjabaran lebih lanjut pengecualian-pengecualian yang diatur dalam GDPR.

Sayangnya, di Indonesia, UU PDP tidak secara spesifik memasukkan hak atas akses informasi sebagai limitasi terhadap hak untuk dilupakan. Namun, dalam Pasal 15, hak ini dapat dilimitasi demi kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara.

Meskipun tidak jelas mengenai apa yang masuk ke dalam lingkup penyelenggaraan negara, ketentuan ini bisa dijadikan dasar untuk menyeimbangkan antara hak untuk dilupakan sebagai bagian dari hak atas privasi dan hak atas informasi.

Pentingnya menyeimbangkan hak

Pelindungan privasi atas individu menjadi suatu hal yang sangat penting di era digital ini, tetapi implementasinya haruslah mempertimbangkan hak atas informasi sebagai bagian dari kepentingan umum. Dalam konteks hak untuk dilupakan, perlu ada regulasi yang mengatur tentang mekanisme peninjauan terhadap permintaan penghapusan dan pemusnahan data pribadi di Indonesia.

Beberapa perusahaan mesin pencarian seperti Google[10] dan Bing[11] sebenarnya sudah memiliki kebijakan terkait implementasi hak untuk dilupakan.

Setelah menerima permintaan penghapusan informasi, mereka tidak akan langsung menyetujuinya. Mereka akan melakukan peninjauan terhadap informasi tersebut berdasarkan beberapa indikator. Misalnya, status figur publik, relevansi informasi berdasarkan waktu, jenis informasi (data umum atau sensitif), dan sebagainya.

Dari pertimbangan tersebut, nantinya perusahaan akan menentukan apakah permintaan penghapusan informasi tersebut bisa diterima atau tidak.

Mekanisme seperti ini sangat penting untuk memastikan bahwa hak untuk dilupakan tidak akan disalahgunakan untuk menghalangi publik mengakses informasi yang relevan terkait seseorang.

Namun, umumnya mekanisme tersebut diberlakukan oleh perusahaan mesin pencarian berdasarkan yurisdiksi dari pemohon. Artinya, jika pemohon berasal dari Uni Eropa yang mengatur limitasi hak untuk dilupakan, mekanisme ini bisa berlaku. Di yurisdiksi lain, belum tentu mereka akan memberlakukan mekanisme serupa.

Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk mengatur lebih lanjut pengecualian-pengecualian terhadap hak untuk dilupakan dalam peraturan turunan UU PDP. Langkah ini penting agar pelaksanaan hak untuk dilupakan tidak mengorbankan hak atas informasi yang esensial bagi kepentingan umum.

Authors: M. Irfan Dwi Putra, Junior Researcher at Center for Digital Society (CfDS), Universitas Gadjah Mada

Read more https://theconversation.com/perlukah-menghilangkan-jejak-digital-ada-dilema-dalam-menyeimbangkan-hak-atas-privasi-dan-hak-atas-informasi-242923

Magazine

Haruskah menderita demi gelar S3? Riset tunjukkan depresi mengintai mahasiswa doktoral

Ms.Lotus Bua/ShutterstockMahasiswa S3 merupakan aset penting bagi dunia penelitian, inovasi, dan pendidikan. Sayangnya, masa depan mereka terancam oleh risiko depresi akibat beban studi yang berat.Pen...

Jalan terjal bisnis media di Indonesia: Terjebak konglomerasi, kehilangan jati diri

Koran dan media cetak berjejer di rak kayu.masrob/ShutterstockArtikel ini diterbitkan untuk merayakan Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9 Februari 2025Jurnalisme merupakan salah satu entitas penting ...

Perlukah menghilangkan jejak digital? Ada dilema dalam menyeimbangkan hak atas privasi dan hak atas informasi

Ilustrasi identifikasi dan privasi dalam konteks teknologi digital modern.Trismegist san/ShutterstockPemerintah saat ini tengah menyusun peraturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2022...