Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Haruskah menderita demi gelar S3? Riset tunjukkan depresi mengintai mahasiswa doktoral

  • Written by Cassie M Hazell, Lecturer in Social Sciences, University of Westminster
Haruskah menderita demi gelar S3? Riset tunjukkan depresi mengintai mahasiswa doktoral

Mahasiswa S3 merupakan aset penting bagi dunia penelitian, inovasi, dan pendidikan. Sayangnya, masa depan mereka terancam oleh risiko depresi akibat beban studi yang berat.

Penelitian sebelumnya[1] membuktikan adanya[2] risiko masalah kesehatan mental[3] di kalangan mahasiswa PhD. Hal serupa kami temukan saat mempelajari[4] kesehatan mental mahasiswa PhD di Inggris.

Dalam penelitian yang diterbitkan tahun 2021, kami menemukan bahwa mahasiswa PhD berpeluang mengalami tingkat kecemasan dan depresi tertentu, jika dibandingkan dengan pekerja profesional lainnya. Selain itu, mahasiswa PhD juga lebih berisiko memiliki gejala kecemasan dan depresi klinis yang jauh lebih parah daripada kelompok kontrol pekerja profesional.

Depresi mengintai mahasiswa S3

Kami melakukan survei terhadap 3.352 mahasiswa PhD, serta 1.256 pekerja profesional yang berperan sebagai kelompok pembanding[5]. Penelitian kami memakai kuesioner yang digunakan pula oleh layanan kesehatan mental National Health Service (NHS) untuk menilai gejala kesehatan mental.

Hasilnya, lebih dari 40% mahasiswa PhD memenuhi kriteria mengidap kecemasan atau depresi tingkat sedang hingga berat. Sebaliknya, 32% pekerja profesional memenuhi kriteria depresi, dan 26% lainnya memenuhi kriteria kecemasan.

Kelompok mahasiswa PhD maupun pekerja profesional memiliki risiko bunuh diri yang sama tingginya, yaitu antara 33-35%. Angka risiko bunuh diri mungkin sangat tinggi karena besarnya tingkat depresi yang ditemukan dalam sampel kami.

Kami juga meminta pendapat para mahasiswa PhD mengenai kesehatan mental mereka maupun rekan-rekannya. Lebih dari 40% mahasiswa PhD percaya bahwa mengalami gangguan mental selama studi S3 merupakan hal yang wajar.

Jumlah peserta yang sama (41%) mengungkapkan bahwa sebagian besar rekan PhD mereka memiliki masalah kesehatan mental. Bahkan, lebih dari sepertiga mahasiswa PhD mempertimbangkan untuk mengakhiri studi mereka karena alasan kesehatan mental.

Budaya kerja berlebihan bisa memengaruhi kesehatan mental mahasiswa PhD.
Budaya kerja berlebihan bisa memengaruhi kesehatan mental mahasiswa PhD. Gorodenkoff/Shutterstock[6]

Budaya kerja berlebihan picu depresi

Hasil penelitian kami menegaskan besarnya risiko masalah kesehatan mental di kalangan mahasiswa PhD—melampaui angka yang diketahui publik. Selain itu, penelitian kami menunjukkan adanya masalah dalam sistem studi PhD saat ini, atau bahkan mungkin di dunia pendidikan secara lebih luas.

Dunia akademis terkenal mendorong budaya kerja berlebihan, tetapi minim penghargaan terhadap para akademisi. Budaya kerja ini tertanam dalam pola pikir mahasiswa PhD.

Dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) dan survei untuk penelitian lainnya[7], mahasiswa PhD melaporkan bahwa penderitaan mereka (dalam menyelesaikan disertasi) dianggap sebagai lambang kehormatan dan tanda bahwa mereka sudah bekerja cukup keras, bukan bekerja terlalu keras. Seorang mahasiswa yang kami wawancara[8] mengatakan:

“Ada kepercayaan umum (di kalangan mahasiswa S3 Inggris) bahwa kamu harus menderita demi gelar doktor. Jika kamu tidak merasa cemas ataupun menderita impostor sydrome (gangguan psikologis berupa perasaan tidak pantas atas kesuksesan yang diperoleh), maka proses yang kamu lakukan tidak ‘benar’”.

Faktor risiko depresi mahasiswa S3

Kami coba mengeksplorasi faktor risiko potensial yang dapat mengganggu kesehatan mental mahasiswa PhD, di antaranya:

1. Ketidakamanan finansial

Ketidakamanan finansial merupakan salah satu faktor risiko yang dapat mengganggu kesehatan mental mahasiswa S3. Pasalnya, tidak semua peneliti menerima dana untuk membiayai kuliah maupun kebutuhan pribadi mereka. Ditambah lagi, setelah menyelesaikan gelar doktor, tidak ada jaminan bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan.

Meskipun jumlah orang yang mengejar gelar doktor meningkat, ini tidak diimbangi dengan jumlah doktor yang memperoleh pekerjaan[9].

2. Konflik dengan dosen pembimbing

Faktor risiko lainnya adalah konflik antara mahasiswa S3 dengan dosen pembimbing akademis[10]. Seorang mahasiswa PhD yang berkontribusi dalam penelitian ini memberikan analogi menarik dengan mengibaratkan pembimbing akademis sebagai “pedang” yang dapat kamu gunakan untuk mengalahkan “monster PhD”.

Jika senjata yang kamu gunakan tidak efektif, maka akan sulit—atau bahkan mustahil—mengalahkan monster tersebut. Konflik dengan pembimbing akademis bisa muncul dalam beragam bentuk, seperti dosen sulit ditemui, terlalu kritis, atau bahkan kurang ahli.

3. Masalah pribadi

Masalah pribadi mahasiswa S3[11], seperti kurang melakukan hobi ataupun tidak punya hubungan romantis bisa menjadi faktor yang meningkatkan risiko depresi saat tengah menyelesaikan studi.

Kami juga menemukan bahwa kesehatan mental yang buruk di kalangan mahasiswa S3 berkaitan dengan tingkat perfeksionis yang tinggi, impostor sydrome (gangguan psikologis berupa perasaan tidak pantas atas kesuksesan yang diperoleh), serta perasaan terisolasi[12].

Sikapi secara berimbang

Di luar risiko depresi yang mungkin dialami mahasiswa S3, studi doktoral tidak melulu menyeramkan. Ada banyak mahasiswa S3 yang merasa proses belajar dalam meraih gelar doktor menyenangkan dan memuaskan[13]. Ada banyak pula contoh lingkungan penelitian yang kooperatif dan mendukung proses akademis mahasiswa.

Pada dasarnya, menjalani studi S3 selama beberapa tahun merupakan kesempatan bagi para peneliti untuk mempelajari dan mengeksplorasi topik yang mereka minati. Program ini bertujuan membekali mahasiswa dengan keterampilan dan keahlian yang berguna bagi peradaban manusia, untuk kemudian disebarkan secara lebih luas.

Dukungan bagi kesejahteraan dan kesehatan mental mahasiswa S3 pun merupakan hal penting yang perlu terus kita diskusikan, renungkan, dan upayakan. Namun, upaya ini harus dilakukan dengan tetap mempertimbangkan bukti, data yang berimbang, serta menghindari penyebaran mitos yang tidak bermanfaat.

Penelitian kami menemukan bahwa persentase mahasiswa PhD yang meyakini rekan kampus mereka memiliki masalah mental maupun percaya bahwa gangguan mental selama studi S3 wajar terjadi, sedikit lebih banyak dari persentase mahasiswa yang benar-benar memenuhi kriteria diagnosis orang dengan masalah kesehatan mental[14] secara umum. Artinya, keyakinan mahasiswa PhD yang kami temui sangat besar dalam menakar tingginya risiko masalah mental yang dihadapi rekan mereka.

Karena itu, kita perlu berhati-hati menyampaikan informasi mengenai risiko depresi di kalangan mahasiswa S3 agar tidak memperkeruh situasinya. Jika pesan yang disampaikan terlalu negatif dan tidak berimbang, kita mungkin turut andil memperkuat mitos bahwa semua mahasiswa S3 harus mengalami masalah kesehatan mental demi mendapatkan gelarnya—yang justru secara tidak langsung mendukung budaya akademis yang toksik.

References

  1. ^ Penelitian sebelumnya (www.sciencedirect.com)
  2. ^ adanya (www.tandfonline.com)
  3. ^ kesehatan mental (www.nature.com)
  4. ^ mempelajari (www.nature.com)
  5. ^ kelompok pembanding (www.nature.com)
  6. ^ Gorodenkoff/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  7. ^ penelitian lainnya (www.emerald.com)
  8. ^ mahasiswa yang kami wawancara (www.emerald.com)
  9. ^ jumlah doktor yang memperoleh pekerjaan (www.nature.com)
  10. ^ dosen pembimbing akademis (www.sciencedirect.com)
  11. ^ Masalah pribadi mahasiswa S3 (onlinelibrary.wiley.com)
  12. ^ terisolasi (www.cambridge.org)
  13. ^ dan memuaskan (onlinelibrary.wiley.com)
  14. ^ orang dengan masalah kesehatan mental (www.nature.com)

Authors: Cassie M Hazell, Lecturer in Social Sciences, University of Westminster

Read more https://theconversation.com/haruskah-menderita-demi-gelar-s3-riset-tunjukkan-depresi-mengintai-mahasiswa-doktoral-248763

Magazine

Haruskah menderita demi gelar S3? Riset tunjukkan depresi mengintai mahasiswa doktoral

Ms.Lotus Bua/ShutterstockMahasiswa S3 merupakan aset penting bagi dunia penelitian, inovasi, dan pendidikan. Sayangnya, masa depan mereka terancam oleh risiko depresi akibat beban studi yang berat.Pen...

Jalan terjal bisnis media di Indonesia: Terjebak konglomerasi, kehilangan jati diri

Koran dan media cetak berjejer di rak kayu.masrob/ShutterstockArtikel ini diterbitkan untuk merayakan Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9 Februari 2025Jurnalisme merupakan salah satu entitas penting ...

Perlukah menghilangkan jejak digital? Ada dilema dalam menyeimbangkan hak atas privasi dan hak atas informasi

Ilustrasi identifikasi dan privasi dalam konteks teknologi digital modern.Trismegist san/ShutterstockPemerintah saat ini tengah menyusun peraturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2022...