Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Jalan terjal bisnis media di Indonesia: Terjebak konglomerasi, kehilangan jati diri

  • Written by Senja Yustitia, Dosen, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Jalan terjal bisnis media di Indonesia: Terjebak konglomerasi, kehilangan jati diri

Artikel ini diterbitkan untuk merayakan Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9 Februari 2025

Jurnalisme merupakan salah satu entitas penting penjaga demokrasi. Namun hal tersebut sulit dilakukan saat media berada dalam lingkungan bisnis dan nonbisnis yang tidak mendukung untuk mencapai kualitas terbaiknya. Di Indonesia, media berada dalam situasi persimpangan ini.

Bisnis media di Indonesia secara umum kini berada dalam situasi yang tidak kompatibel dengan kebutuhan demokrasi. Keberagaman dan kebermaknaan informasi serta pengawasan terhadap kekuasaan tampak makin kabur.

Ini terjadi karena sejumlah faktor, mulai dari homogennya outlet media, ketergantungan media (terutama media di daerah) terhadap pendanaan institusi pemerintah dan iklan, hingga makin rendahnya konsumsi media karena jumlah audiens yang menurun–yang membuat perusahaan media makin sulit bertahan.

1. Media terjebak konglomerasi dan afiliasi politik

Homogennya industri media disebabkan oleh konglomerasi media[1] yang terjadi sejak beberapa tahun belakangan. Konglomerasi media menyebabkan industri tidak kompetitif dan berdampak pada tidak adanya diversity of news.

Hal ini diperparah lagi dengan afiliasi politik yang tinggi pada sejumlah pemilik media. Riset[2] menunjukkan bahwa adanya afiliasi media-politik yang berada dalam katagori ekstrem, yakni ketika pemilik media dan keluarganya sekaligus menjadi petinggi partai politik, calon legislatif atau anggota parlemen baik pusat maupun daerah, serta kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Afiliasi itu disebut interkoneksi media, dan ini adalah politik praktis yang nyaris sempurna–barangkali hanya ada di Indonesia. Afiliasi politik membuat berita yang sejatinya bisa digunakan untuk memandu aksi dan menggaungkan suara rakyat menjadi tumpul karena makin jauh dari objektivitas.

2. Ketergantungan pada elite

Ketergantungan media pada pendanaan dari elite tertentu terutama terjadi pada media–media lokal. Catatan AJI (2024)[3] menunjukkan bahwa ketergantungan yang terlalu besar pada iklan dan pendanaan pemerintah daerah membuat media sulit mempertahankan independensinya.

Walhasil, konten media berpotensi hanya digunakan untuk melayani elite dan semakin menjauhi kepentingan publik. Misalnya, pengutipan rilis-rilis dari pemerintah yang cenderung dikutip apa adanya sehingga kurang perimbangan fakta. Lagi-lagi, diversity of news sulit terwujud. Padahal dalam negara demokrasi, publik yang kritis dan cerdas sangat penting untuk kebutuhan check and balance.

Sepanjang tahun 2023 dan 2024 juga terjadi PHK pekerja media secara masif[4]. Laporan AJI[5] menyebut bahwa pemutusan hubungan kerja yang terjadi pada sejumlah perusahaan media jauh dari rasa keadilan karena melanggar regulasi dan aspek kemanusiaan.

3. Bersaing dengan ‘influencer’

Merebaknya internet, gagapnya media bertranformasi[6] dengan situasi baru dan lesunya perekonomian [7] secara tidak langsung menyebabkan bisnis media tidak lagi berada dalam ruang yang kompetitif dan menguntungkan. Secara umum, jumlah audiens media terus mengecil seiring dengan munculnya gejala news aviodance dan hadirnya platform lain[8].

Fenomena di atas juga muncul di belahan dunia lain. Digital News Project 2024[9] menunjukkan bahwa informasi tentang sebuah isu tertentu justru lebih banyak dikonsumsi melalui platform TikTok yang lebih banyak diproduksi oleh influencer ketimbang media.

Tentu saja hal ini memprihatikan, karena produk jurnalistik sejatinya menggunakan standar tertentu untuk menjamin validitas informasi. Sementara influencer atau content creator belum tentu memenuhi standar validitas.

Akhirnya, situasi tersebut juga menuntut media untuk “berjualan” berita dengan cara yang lebih “pop”. Misalnya dengan penggunaan podcast ataupun memasarkan produk news dan non-news dengan menggunakan sistem bundling. Bundling[10] adalah strategi marketing dengan menjual beberapa produk (yang tergabung dalam satu perusahaan atau group) yang biasanya dijual terpisah menjadi dalam satu paket atau unit.

4. Tingginya angka kekerasan terhadap wartawan

Pada lingkungan nonbisnis, media di Indonesia juga berada dalam situasi yang tidak menguntungkan. Ini ditandai dengan tingginya angka kekerasan terhadap wartawan dan institusi media.

Laporan AJI[11] menunjukkan bahwa kekerasan terhadap wartawan dapat berupa kekerasan fisik maupun nonfisik misalnya berupa doxing maupun peretasan email[12]. Kekerasan fisik bisa berupa ancaman[13] (langsung maupun tidak langsung) dan pembunuhan[14] .

Belum tuntas soal represi individu, secara institusi media juga mengalami tekanan dari rezim yang sedang berkuasa. Masih melekat dalam ingatan, serentetan kontroversi pada revisi UU penyiaran[15] yang justru membatasi media serta ungkapan anggota DPR yang berwacana akan menghapuskan mekanisme doorstop[16] untuk wartawan yang melakukan liputan di KPK.

Tidak berselang lama, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan “guyonan”[17] kepada wartawan saat meliput sidang kabinet paripurna.

“Saya kira media-media ini masih muda-muda. Jadi ada hal-hal yang kalau orang tua bicara yang muda tunggu di luar kan begitu kan,” ujarnya.

Kendati dibingkai sebagai ujaran kelakar, pernyataan tersebut sangat kuat dimaknai sebagai pembatasan dan pelemahan media yang dibangun melalui nuansa nonegaliter.

Konsekuensi pelemahan media

Media pada hakikatnya memiliki posisi penting dalam suatu negara karena menjadi ruang pertarungan dalam konstelasi power making[18].

Di Indonesia, proses power making menunjukkan dengan jelas bahwa rakyat berada dalam posisi marginal. Misalnya pada isu hilirisasi[19], penembakan warga sipil oleh polisi[20], pagar laut[21], deforestasi[22], ataupun kelangkaan gas LPG 3 kg[23].

Belum lagi aksi DPR[24] yang sedang membuka kemungkinan memperkuat posisinya dengan memiliki kewenangan mencopot hakim MK hingga pimpinan KPK. Ini semua dipertontonkan melalui media dengan perspektif yang cenderung tunggal dan tidak mendalam.

Media juga bisa memengaruhi proses pemilihan umum dan pengambilan keputusan. Ini karena publikasi media punya kekuatan untuk melemahkan kredibilitas figur-figur politik. Dampaknya, publik bisa saja menjadi apatis terhadap proses politik itu sendiri. Secara jangka panjang, hal ini bisa menyebabkan krisis legitimasi politik.

Bergesernya pemanfaatan teknologi dan tidak idealnya situasi bisnis media membuat informasi diukur melalui kecepatan dan kemenarikan. Sedangkan publik juga bergerak untuk memenuhi kebutuhannya melalui berbagai platform yang tersedia. Tidak hanya itu, gerakan masyarakat sipil juga nyaris terpisah dengan media. Publik berusaha melalui caranya sendiri, misalnya dengan memanfaatkan crowd media sosial.

Media sebagai rumah bersama bersemainya berbagai pemikiran kritis masih berada dalam persimpangan namun tetap relevan untuk terus diperjuangkan. Di sinilah wadah bertemunya aneka perspektif dan diskusi warga. Mengembalikan media pada ruang-ruang yang dekat dengan kepentingan publik adalah salah satu upaya menjaga demokrasi.

References

  1. ^ konglomerasi media (cipg.or.id)
  2. ^ Riset (theconversation.com)
  3. ^ Catatan AJI (2024) (aji.or.id)
  4. ^ masif (dewanpers.or.id)
  5. ^ Laporan AJI (aji.or.id)
  6. ^ gagapnya media bertranformasi (www.kompas.id)
  7. ^ lesunya perekonomian (dewanpers.or.id)
  8. ^ gejala news aviodance dan hadirnya platform lain (reutersinstitute.politics.ox.ac.uk)
  9. ^ Digital News Project 2024 (reutersinstitute.politics.ox.ac.uk)
  10. ^ Bundling (www.investopedia.com)
  11. ^ Laporan AJI (advokasi.aji.or.id)
  12. ^ doxing maupun peretasan email (aji.or.id)
  13. ^ ancaman (aji.or.id)
  14. ^ pembunuhan (nasional.kompas.com)
  15. ^ kontroversi pada revisi UU penyiaran (www.kompas.id)
  16. ^ menghapuskan mekanisme doorstop (www.cnnindonesia.com)
  17. ^ “guyonan” (www.liputan6.com)
  18. ^ konstelasi power making (ijoc.org)
  19. ^ hilirisasi (www.walhi.or.id)
  20. ^ penembakan warga sipil oleh polisi (www.tempo.co)
  21. ^ pagar laut (www.tempo.co)
  22. ^ deforestasi (www.mongabay.co.id)
  23. ^ kelangkaan gas LPG 3 kg (katadata.co.id)
  24. ^ DPR (www.kompas.tv)

Authors: Senja Yustitia, Dosen, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Read more https://theconversation.com/jalan-terjal-bisnis-media-di-indonesia-terjebak-konglomerasi-kehilangan-jati-diri-249280

Magazine

Haruskah menderita demi gelar S3? Riset tunjukkan depresi mengintai mahasiswa doktoral

Ms.Lotus Bua/ShutterstockMahasiswa S3 merupakan aset penting bagi dunia penelitian, inovasi, dan pendidikan. Sayangnya, masa depan mereka terancam oleh risiko depresi akibat beban studi yang berat.Pen...

Jalan terjal bisnis media di Indonesia: Terjebak konglomerasi, kehilangan jati diri

Koran dan media cetak berjejer di rak kayu.masrob/ShutterstockArtikel ini diterbitkan untuk merayakan Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9 Februari 2025Jurnalisme merupakan salah satu entitas penting ...

Perlukah menghilangkan jejak digital? Ada dilema dalam menyeimbangkan hak atas privasi dan hak atas informasi

Ilustrasi identifikasi dan privasi dalam konteks teknologi digital modern.Trismegist san/ShutterstockPemerintah saat ini tengah menyusun peraturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2022...