Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Selain terlalu ketat, rencana aturan pembatasan medsos untuk anak juga tidak tepat

  • Written by Eka Nugraha Putra, Research Fellow at Centre for Trusted Internet and Community, National University of Singapore
Selain terlalu ketat, rencana aturan pembatasan medsos untuk anak juga tidak tepat

Pada 13 Januari 2025 lalu, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menyampaikan rencana pemerintah untuk menyusun rancangan undang-undang terkait pembatasan penggunaan media sosial (medsos)[1] pada anak. Undang-undang yang disusun ini diharapkan dapat melindungi anak-anak Indonesia dari dampak negatif di internet.

Sekilas, rencana pemerintah membatasi penggunaan media sosial untuk anak-anak memang tampak baik. Namun, aturan hukum semacam ini justru berpotensi memberikan setidaknya dua dampak buruk: tidak fokusnya legislasi dalam menyasar masalah utama dan penumpukan aturan hukum.

Selain itu, rencana pemerintah ini merupakan contoh baru aturan “performatif” yang disusun tanpa kebijakan berbasis bukti[2], mengesampingkan fakta empiris dan berpotensi memberi dampak negatif lebih dalam, khususnya bagi anak-anak yang menjadi target aturannya.

Proses legislasi yang belum fokus

Masalah pertama dari rencana aturan pembatasan media sosial ini adalah ketidakjelasan fokus pemerintah terkait dampak negatif apa yang ingin direduksi. Walaupun judi online dan konten seksual menjadi dua di antara konten negatif yang akan diatur, pemerintah tampaknya hanya fokus[3] pada pembatasan penggunaan media sosial pada anak dan ketegasan sanksi.

Padahal, meskipun konten eksploitasi seksual memang menjadi salah satu dampak negatif tertinggi, anak-anak di Indonesia juga rentan menghadapi penyebaran data pribadi (doxxing) dan intimidasi (cyberbullying).[4]

Sementara untuk doxxing dan cyberbullying, Indonesia sudah memiliki undang-undang tersendiri, yaitu UU Perlindungan Anak tahun 2002 yang direvisi tahun 2014, dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang direvisi pada tahun 2016 dan 2024.

Pada cyberbullying, masih terdapat lubang pengaturan terkait penyusunan elemennya sebagai kejahatan di dalam UU ITE, khususnya terkait bagaimana rumusan Pasal 29 UU ITE[5] lebih menyasar penyebar ketimbang pelaku utamanya.

Sementara pada UU Perlindungan Anak, pelaksanaan perlindungan hak-hak anak, termasuk hak-hak anak agar terbebas dari kekerasan juga masih menemui masalah. Struktur kelembagaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang tidak mencakup Komisi Perlindungan Anak di daerah menjadikan kewenangannya terbatas[6].

Terbaru, DPR RI menyatakan[7] bahwa aturan pembatasan media sosial bagi anak-anak harus komprehensif sehingga perlu melibatkan tanggung jawab platform dan peran aktif orang tua.

Kedua hal ini memang penting, namun substansi undang-undangnya tidak akan menyentuh masalah utama bila fokus pada penerapan sanksi tegas dan mekanisme seperti verifikasi usia anak. Pada metode verifikasi usia, meskipun sudah berjalan di beberapa negara, terdapat beberapa tantangan khususnya terkait keamanan dan privasi anak[8].

Sementara itu, terkait peran aktif orang tua, belum terlihat akan berbentuk seperti apa di dalam rencana undang-undang. Terlebih lagi, studi[9] menunjukkan bahwa literasi digital orang tua di Indonesia rendah.

Bahaya penumpukan legislasi

Isu penting kedua adalah bagaimana pemerintah cenderung mengambil langkah instan dengan menyalahkan teknologi dan membuat undang-undang yang bersifat “menghukum” ketimbang “mencegah”.

Ini sudah menjadi catatan masyarakat sipil[10] atas tata kelola regulasi. Sayangnya, belum ada perbaikan yang signifikan[11], meskipun terdapat perubahan kedua dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Langkah pembatasan media sosial bagi anak memang sudah dilakukan oleh negara lain. Pada Desember 2024, Australia mengesahkan The Online Safety Amendment Act[12] yang mengatur pembatasan akses media sosial bagi anak berusia di bawah 16 tahun dan sanksi kepada perusahaan media sosial yang melanggar aturan ini.

Namun, produk hukum tersebut dikritik sebagai salah satu aturan media sosial paling ketat di dunia, karena berpotensi semakin menjauhkan anak-anak dari potensi pembekalan literasi digital yang cukup[13].

Pada konteks Indonesia, mengesahkan aturan pembatasan media sosial juga berpotensi menciptakan hyper-regulation[14]. Ini adalah kondisi ketika ketertiban justru sulit dicapai karena jumlah peraturan yang terlalu banyak[15] atau disusun dengan proses yang tidak ideal, sehingga peraturan terkait justru sulit dijalankan atau dipatuhi.

Literasi digital lebih dibutuhkan

Ironisnya, langkah “pencegahan” justru luput menjadi upaya penanganan isu media sosial dan anak-anak. Literasi digital yang idealnya menjadi langkah utama belum menjadi prioritas. Literasi digital masyarakat Indonesia memang tidak menurun, tetapi juga belum memenuhi indikator utama[16], seperti soal pengecekan fakta.

Pada akhirnya, meskipun aturan ini ditargetkan untuk anak-anak, keterlibatan orang tua dan sekolah harus jelas, khususnya dalam pembekalan kemampuan literasi digital yang cukup, agar mereka dapat mendampingi anak-anak dalam penggunaan internet dan media sosial. Sehingga, anak-anak akan dapat mengembangkan kemampuan kognitif, berpikir kritis dan pemecahan masalah[17].

Selain itu, keterlibatan anak-anak terhadap teknologi secara langsung justru dapat membantu mereka mendapatkan pemahaman atas risiko di internet dan mitigasinya secara tepat.

Pada aspek tata kelola regulasi, mengingat isu penumpukan regulasi dan adanya peraturan terkait yang sudah ada, merevisi UU Perlindungan Anak dan UU ITE terkait risiko kejahatan siber kepada anak akan jauh lebih efektif, hal ini juga selaras dengan upaya pengawasan dan evaluasi peraturan yang bermasalah[18].

Efektivitas ini tentunya akan tercapai apabila rancangan peraturan disusun berdasarkan bukti ilmiah yang kuat. Sebaliknya, efektivitas ini akan semakin sulit tercapai bila kebijakan efisiensi anggaran merugikan banyak kementerian atau lembaga terkait seperti Kementerian Pendidikan Dasar Menengah (Kemendikdasmen[19]) dan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN[20]).

Pemerintah juga dapat melakukan intervensi yang ideal dengan menyusun aturan atau panduan untuk menerapkan program literasi digital yang masif dan inklusif yang melibatkan orang tua dan sekolah. Para pemangku kepentingan sebaiknya menggunakan sumber daya yang ada untuk fokus pada perlindungan anak-anak dan tumbuh kembangnya melalui pendidikan dan kesehatan[21], ketimbang sekadar menyalahkan teknologi dan menyusun aturan yang terlalu ketat.

References

  1. ^ pembatasan penggunaan media sosial (medsos) (www.bbc.com)
  2. ^ tanpa kebijakan berbasis bukti (www.hukumonline.com)
  3. ^ fokus (www.hukumonline.com)
  4. ^ penyebaran data pribadi (doxxing) dan intimidasi (cyberbullying). (www.unicef.org)
  5. ^ Pasal 29 UU ITE (lawjournal.ub.ac.id)
  6. ^ kewenangannya terbatas (www.mkri.id)
  7. ^ menyatakan (mediaindonesia.com)
  8. ^ keamanan dan privasi anak (www.newamerica.org)
  9. ^ studi (www.researchgate.net)
  10. ^ catatan masyarakat sipil (www.hukumonline.com)
  11. ^ belum ada perbaikan yang signifikan (www.jentera.ac.id)
  12. ^ The Online Safety Amendment Act (www.infrastructure.gov.au)
  13. ^ menjauhkan anak-anak dari potensi pembekalan literasi digital yang cukup (www.aspistrategist.org.au)
  14. ^ hyper-regulation (scandinavianlaw.se)
  15. ^ jumlah peraturan yang terlalu banyak (www.mkri.id)
  16. ^ juga belum memenuhi indikator utama (repository.cips-indonesia.org)
  17. ^ mengembangkan kemampuan kognitif, berpikir kritis dan pemecahan masalah (milestones.com.au)
  18. ^ pengawasan dan evaluasi peraturan yang bermasalah (pshk.or.id)
  19. ^ Kemendikdasmen (www.tempo.co)
  20. ^ BRIN (www.tempo.co)
  21. ^ anak-anak dan tumbuh kembangnya melalui pendidikan dan kesehatan (theconversation.com)

Authors: Eka Nugraha Putra, Research Fellow at Centre for Trusted Internet and Community, National University of Singapore

Read more https://theconversation.com/selain-terlalu-ketat-rencana-aturan-pembatasan-medsos-untuk-anak-juga-tidak-tepat-249029

Magazine

Ketika pemberitaan penuh tekanan, bagaimana cara tetap ‘update’ tanpa ‘doomscrolling’?

Mart Production/PexelsAwalnya sesederhana kita mengintip media sosial favorit di tengah malam sebelum tidur. Lalu muncullah judul-judul berita yang menarik perhatian dengan keterangan “breaking ...

Komunikasi publik kabinet ‘gemoy’ Prabowo belum transparan dan tak hiraukan kritik

Presiden Prabowo Subianto.MRNPic/ShutterstockSalah satu warisan dari pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo adalah penggunaan media sosial yang masif terkait komunikasi publik lembaga ...

‘Omon-omon’ ingin jadi negara maju: Sulit jika anggaran pendidikan dan riset dibabat habis

Ilustrasi pemotongan anggaran.MuhtadiR/ShutterstockBelum genap empat bulan memerintah, rezim Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka kembali menciptakan kegaduhan publik, utamanya melalui pemangkasan ...