Asian Spectator

The Times Real Estate

.

4 dampak psikologis UU TNI baru bagi masyarakat Indonesia

  • Written by Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia
4 dampak psikologis UU TNI baru bagi masyarakat Indonesia

Indonesia pernah mengalami masa kelam ketika militer bercokol di hampir seluruh sendi pemerintahan dalam sistem dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru[1]. Tak hanya urusan pertahanan, militer juga mengisi jabatan-jabatan strategis sipil di pemerintahan pusat hingga daerah, bahkan menduduki kursi legislatif dengan fraksi tersendiri.

Situasi tersebut menciptakan budaya kekuasaan yang kaku, menekan aspirasi masyarakat, dan sering kali merespons kritik dengan represi. Peristiwa penangkapan aktivis[2], pembubaran paksa demonstrasi[3], hingga berbagai kasus pelanggaran HAM[4] menjadi bukti konkret bagaimana militerisasi ruang publik berpotensi menciptakan ekosistem kekerasan yang mengganjal proses demokrasi.

Pascareformasi 1998, Indonesia seperti mendapatkan harapan baru untuk menjadi negara demokrasi. Pemisahan peran antara militer dan sipil[5] menjadi tonggak penting dalam membangun tatanan masyarakat yang lebih egaliter, transparan, dan partisipatif. Militer tidak lagi menjadi aktor utama dalam kehidupan politik dan pemerintahan, melainkan kembali ke baraknya sebagai alat pertahanan negara.

Sialnya, saat ini terlihat indikasi sinyal gelap, melalui pengesahan revisi Undang-Undang (UU) TNI yang dipaksakan oleh pemerintah dan DPR. Bayang-bayang Orde Baru kembali mencuat.

Setidaknya akan ada empat dampak psikologis yang akan terjadi dengan dibukanya ruang yang lebih luas bagi militer untuk mengintervensi urusan sipil.

1. Memicu sentimen ketidakamanan sosial

Kehadiran militer dalam ruang publik sering kali diasosiasikan[6] dengan kekuasaan koersif. Kekuasaan koersif[7] adalah bentuk kekuasaan yang didasarkan pada ancaman atau penggunaan kekerasan, paksaan, atau hukuman untuk mengendalikan perilaku orang lain. Memang masyarakat terlihat tertib dan patuh bukan karena wibawa hukum yang tinggi tapi karena takut pada konsekuensi negatif (hukuman, kekerasan, intimidasi, penangkapan, dll).

Masyarakat menjadi cemas untuk menyuarakan kritik atau perbedaan pendapat karena takut dianggap mengganggu stabilitas. Kecemasan ini tidak hanya bersifat individual, tetapi juga kolektif [8], membentuk suasana psikis masyarakat yang penuh kehati-hatian dan ketakutan.

Prajurit TNI menjaga kerumunan orang di pinggir jalan yang tengah menunggu Prabowo Subianto melewati mereka pada Oktober 2024. Wulandari Wulandari/Shutterstock[9]

Pada masa Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto, kehadiran militer di ruang publik sangat dominan berkat berlakunya kebijakan Dwifungsi ABRI[10]. Situasi ini menciptakan budaya ketakutan[11] yang meluas karena hanya dengan menyuarakan pendapat yang berbeda pemerintah menganggapnya sebagai tindakan subversif atau ancaman terhadap stabilitas nasional.

Demonstrasi mahasiswa dibubarkan paksa [12], aktivis ditangkap[13], dan media disensor secara ketat[14]. Akibatnya, masyarakat hidup dalam ketegangan psikologis yang kronis, di mana rasa aman hanya bisa didapat jika tunduk dan diam.

Di Mesir[15] pascakudeta militer terhadap pemerintahan sipil, militer menjadi aktor sentral dalam represi terhadap kebebasan berekspresi dan oposisi politik. Militer Mesir menjadi otoritas dominan yang membatasi ruang gerak masyarakat sipil.

Jika dominasi militer di ranah sipil terjadi di Indonesia, warga akan takut berbicara kritis bahkan di ruang privat seperti rumah atau media sosial. Mereka khawatir akan dampak hukuman. Secara psikologis, ini membentuk self-censorship[16] dan ketakutan kolektif yang[17] membekas lama.

2. Disorientasi identitas sipil

Militerisasi ruang publik berisiko[18] mengaburkan peran dan identitas warga negara sebagai aktor demokratis yang bebas, setara, dan otonom. Ketika warga terbiasa diperintah, dikontrol, atau dikondisikan dalam suasana militeristik, maka identitas sebagai subjek politik yang kritis, partisipatif, dan deliberatif melemah. Hal ini juga dapat dilihat melalui penjelasan political efficacy.

Political efficacy[19] merujuk pada sejauh mana individu merasa mampu memahami politik (internal efficacy) dan sejauh mana mereka percaya bahwa sistem politik akan merespons aspirasi mereka (external efficacy). Ketika warga terus-menerus hidup dalam bayang-bayang kekuasaan koersif yang menekankan kepatuhan dan kontrol, maka rasa percaya diri untuk memahami isu-isu politik maupun keberanian untuk menyuarakan pendapat akan terkikis. Akibatnya, partisipasi publik tidak lagi didasarkan pada kesadaran politik, melainkan pada kepasrahan atau bahkan apatisme.

Demokrasi sejati memerlukan warga negara yang merasa dirinya sebagai aktor politik yang bermakna, bukan sekadar objek yang dikendalikan oleh negara. Namun, jika warga merasa bahwa suara mereka tidak akan berdampak, atau bahwa proses politik adalah ranah eksklusif elit atau militer, maka mereka akan cenderung menarik diri dari ruang publik.

Prajurit TNI bekerja sama dengan relawan dalam mendistribusikan bantuan kemanusiaan untuk korban gempa dan tsunami Palu, Sulawesi Tengah, pada tahun 2018. Tino Adi P/Shutterstock[20]

Akibatnya, masyarakat bisa mengalami kebingungan nilai: apakah harus menjadi warga sipil yang berdaulat atau hanya objek yang patuh pada kekuasaan?

Secara psikologis, disorientasi identitas sipil yang terjadi akibat militerisasi ruang publik dapat dijelaskan melalui teori Internalized Oppression (David & Derthick, 2014) [21]. Teori ini menjelaskan bagaimana individu atau kelompok yang hidup dalam struktur kekuasaan hierarkis dan represif cenderung menginternalisasi nilai-nilai dominan dan menyesuaikan perilakunya untuk bertahan.

Jika berlanjut, fenomena ini berbahaya karena menciptakan masyarakat yang terbiasa diperintah daripada berdialog. Alhasil demokrasi pun berubah menjadi formalitas belaka—kosong dari daya kritis yang hidup.

3. Mewajarkan otoritarianisme

Ketika sistem kekuasaan dibangun atas hierarki dan sitem khas militer, masyarakat cenderung menginternalisasi nilai-nilai otoritarian[22]. Hal ini dapat membentuk mentalitas tunduk, pasif, dan permisif terhadap kontrol dari atas. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengikis kemampuan individu untuk bertindak, membuat pilihan, dan memperjuangkan perubahan sosial karena terbiasa mengikuti komando penguasa.

Fenomena internalisasi nilai-nilai otoritarian ini dapat dilihat secara nyata dalam konteks Korea Selatan pada masa pemerintahan militer Park Chung-hee[23] (1961–1979). Selama periode tersebut, struktur kekuasaan yang kaku dan berbasis hierarki militer tidak hanya mendisiplinkan institusi pemerintahan, tetapi juga meresap ke dalam budaya kerja, pendidikan, hingga kehidupan sosial masyarakat.

Presiden ke-7 Joko Aan Herman Yulianto/Shutterstock[24]

Generasi yang tumbuh dalam sistem ini cenderung mengutamakan kepatuhan dan menghindari konflik daripada kebebasan berpikir atau partisipasi kritis. Masyarakat menjadi terbiasa menerima perintah dari atas tanpa mempertanyakan legitimasi kebijakan. Ruang untuk mendorong perubahan sosial pun semakin sempit.

Hal serupa juga terlihat dalam konteks Cili di bawah rezim militer Augusto Pinochet (1973–1990)[25]. Militerisasi kehidupan sipil tidak hanya berdampak pada pelanggaran HAM secara langsung, tetapi juga menanamkan ketakutan psikologis yang mengakar dalam kesadaran kolektif masyarakat. Banyak warga sipil belajar untuk “diam” sebagai mekanisme bertahan hidup, karena ekspresi politik atau aktivisme dapat berujung pada pengawasan, intimidasi, atau penghilangan paksa.

Dalam iklim seperti itu, kepercayaan diri masyarakat untuk memengaruhi kebijakan atau memperjuangkan perubahan sosial melemah drastis. Bahkan setelah transisi demokrasi, sisa trauma psikologis dan pola pikir otoritarian masih terbaca dalam budaya politik yang cenderung konservatif, penuh kehati-hatian, dan minim keberanian untuk menggugat struktur kuasa.

4. Memantik kekerasan dan degradasi empati

Ruang publik yang dikuasai militer rentan menumbuhkan kekerasan[26] sebagai alat penyelesaian konflik, baik secara simbolik maupun fisik. Ketika masyarakat terbiasa melihat tindakan represif sebagai hal “wajar demi ketertiban”, maka empati terhadap korban represi akan menurun, melemahkan solidaritas sosial, dan mengikis sensitivitas terhadap ketidakadilan struktural yang dialami kelompok rentan.

Dalam jangka panjang, proses ini mengikis kemampuan manusia untuk merasakan empati terhadap korban. Dampaknya, toleransi terhadap pelanggaran HAM akan menguat. Berdasarkan konsep moral disengagement[27], manusia dapat membenarkan tindakan tidak etis sebagai sesuatu yang sah dalam konteks tertentu, seperti demi “keamanan nasional” atau “stabilitas sosial.”

Personel militer berbaris melalui jalan yang dipenuhi puing-puing akibat kerusuhan pada November 2024. Stagehunter.id/Shutterstock[28]

Akibatnya, solidaritas sosial melemah karena masyarakat tidak lagi melihat korban sebagai “sesama manusia” yang layak dibela, tetapi sebagai “gangguan ketertiban” yang bisa diabaikan. Ini menciptakan masyarakat yang secara psikologis tumpul terhadap ketidakadilan[29]), serta cenderung permisif terhadap kekuasaan koersif.

Jika ini dibiarkan, kita bukan hanya mundur ke masa lalu yang kelam, tetapi juga sedang menciptakan generasi baru yang kehilangan keberanian untuk bersuara dan terbiasa menyaksikan kekerasan sebagai hal yang lumrah.

Pertarungan kita hari ini bukan sekadar soal menolak militerisasi, tetapi soal menyelamatkan jiwa demokrasi kita yang hanya bisa hidup jika masyarakatnya berpikir bebas, berani berbeda, dan tetap peduli pada sesama.

References

  1. ^ Orde Baru (www.kompas.com)
  2. ^ penangkapan aktivis (www.amnesty.id)
  3. ^ paksa demonstrasi (journal.unnes.ac.id)
  4. ^ pelanggaran HAM (journal.appisi.or.id)
  5. ^ Pemisahan peran antara militer dan sipil (scholarhub.ui.ac.id)
  6. ^ diasosiasikan (jurnal.dpr.go.id)
  7. ^ Kekuasaan koersif (journal.uwks.ac.id)
  8. ^ kolektif (books.google.co.id)
  9. ^ Wulandari Wulandari/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  10. ^ kebijakan Dwifungsi ABRI (www.tempo.co)
  11. ^ budaya ketakutan (www.carnegiecouncil.org)
  12. ^ Demonstrasi mahasiswa dibubarkan paksa (kompaspedia.kompas.id)
  13. ^ ditangkap (www.kompas.com)
  14. ^ media disensor secara ketat (www.kompas.com)
  15. ^ Di Mesir (www.aljazeera.com)
  16. ^ self-censorship (link.springer.com)
  17. ^ ketakutan kolektif yang (imaji.ikj.ac.id)
  18. ^ berisiko (www.crisisgroup.org)
  19. ^ Political efficacy (www.cambridge.org)
  20. ^ Tino Adi P/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  21. ^ Internalized Oppression (David & Derthick, 2014) (psycnet.apa.org)
  22. ^ nilai-nilai otoritarian (www.jurnal.unismabekasi.ac.id)
  23. ^ militer Park Chung-hee (historia.id)
  24. ^ Aan Herman Yulianto/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  25. ^ rezim militer Augusto Pinochet (1973–1990) (www.hoover.org)
  26. ^ militer rentan menumbuhkan kekerasan (www.tempo.co)
  27. ^ moral disengagement (onlinelibrary.wiley.com)
  28. ^ Stagehunter.id/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  29. ^ tumpul terhadap ketidakadilan (www.cambridge.org)

Authors: Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia

Read more https://theconversation.com/4-dampak-psikologis-uu-tni-baru-bagi-masyarakat-indonesia-252747

Magazine

Makna kiriman kepala babi: Pesan politik yang mengancam kebebasan pers di Indonesia

Ilustrasi babi.Tom Korcak/ShutterstockBeberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan rentetan ancaman terhadap kantor media massa Tempo. Mereka mendapatkan kiriman paket berisi kepala babi pada Rabu, 19...

4 dampak psikologis UU TNI baru bagi masyarakat Indonesia

Prajurit TNI menggenggam senjata saat parade dalam sebuah upacara.Owl Yellow/ShutterstockIndonesia pernah mengalami masa kelam ketika militer bercokol di hampir seluruh sendi pemerintahan dalam sistem...

Buntut ketegangan Trump-Zelensky: Akan seperti apa hubungan AS dengan Ukraina, Eropa, dan global?

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump (kiri) menyambut Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Gedung Putih untuk penandatanganan akses AS terhadap mineral langka Ukraina.Joshua Sukoff/Shuttersto...