Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Makna kiriman kepala babi: Pesan politik yang mengancam kebebasan pers di Indonesia

  • Written by Khalid Walid Djamaludin, Antropolog, University of Latvia
Makna kiriman kepala babi: Pesan politik yang mengancam kebebasan pers di Indonesia

Beberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan rentetan ancaman terhadap kantor media massa Tempo. Mereka mendapatkan kiriman paket berisi kepala babi[1] pada Rabu, 19 Maret 2025. Lalu disusul paket berisi bangkai tikus dengan kepala terpenggal[2] pada 22 Maret 2025.

Peristiwa tersebut terjadi bersamaan dengan mencuatnya kontroversi dan penolakan pengesahan Undang-Undang (UU) TNI yang baru. Selama ini, Tempo menjadi salah satu media massa terkemuka di Indonesia yang berani dan lugas mengulas dinamika politik elite dan kekuasaan, termasuk soal polemik revisi UU TNI.

Apa yang terjadi pada Tempo membuat mayoritas publik geram. Masyarakat awam pun bisa menilai bahwa kejadian tersebut jelas merupakan ancaman terhadap kebebasan pers dan kerja-kerja media sebagai salah satu pilar demokrasi. Sayangnya, petinggi negara justru memberikan respons nirempati. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi justru menanggapi[3] dengan sepele, “Udah, dimasak aja”.

Kali ini, perspektif antropologis sedikit membuka ruang dalam menjelaskan makna yang terkandung dalam peristiwa kiriman kepala babi kepada Tempo. Beberapa antropolog terkemuka seperti (Lévi-Strauss,[4] Harris,[5], Douglas[6] dan Sutton[7]) pernah mengadakan eksplorasi terkait dengan babi (tidak spesifik terkait dengan organ khusus babi) sebagai objek studi mereka. Menurut mereka, babi merupakan hewan yang memiliki kaitannya dengan manusia, serta mengandung dimensi sosial-budaya, bahkan juga politik.

Lebih dari sekadar objek fisik, babi atau kepala babi sarat dengan makna simbolis yang mampu memengaruhi persepsi dan tindakan sosial, serta menggambarkan ketegangan antara nilai-nilai budaya dan kekuasaan politik yang ada.

Setidaknya ada dua konteks yang bisa kita terjemahkan dari simbolisasi kiriman kepala babi maupun bagian tubuh hewan lainnya, yakni pesan kengerian dan pesan politik. Ini bukan hal yang layak kita sepelekan dan anggap sebagai bahan candaan.

Kepala babi sebagai pesan kengerian

Berdasarkan perspektif komunitas masyarakat yang beragam, babi kerap menjadi bahasan menarik ketika kita membedah hubungannya dengan manusia maupun penggunaannya sebagai simbol-simbol budaya.

Antropolog terkemuka Roy Rappaport dalam “Pigs for the Ancestors” tahun 1968 mengungkapkan dalam studinya[8] tentang suku Miwok di Papua Nugini bahwa pemanfaatan babi dalam ritual tidak sekadar berkaitan dengan ekonomi semata, tetapi dipandang sebagai simbol tatanan sosial dan kosmologis.

Jurnalis tengah menggunakan kamera untuk meliput aksi demonstrasi mahasiswa di depan gedung DPR/MPR RI di Jakarta pada 23 Agustus 2024. Oryzapratama/Shutterstock[9]

Sementara itu, studi etnografi[10] Margaret Jolly tahun 1984 tentang signifikansi babi dalam berbagai konteks budaya, khususnya di Kepulauan Pasifik, menemukan bahwa ada babi yang dianalogikan sebagai manusia, jauh lebih dari sekadar hewan. Mereka adalah aktor sosial vital yang mencerminkan dan membentuk praktik budaya, hubungan sosial, dan bahkan dinamika kekuatan politik.

Berdasarkan perspektif Rappaport dan Jolly, babi bukan sekadar alat/material ritual belaka, tetapi juga simbol budaya dan erat kaitannya dengan manusia. Bahkan di dalam ritual komunitas di Papua Nugini dan Kepulauan Pasifik, babi seolah-olah memiliki jiwa seperti manusia, karena kerap difungsikan sebagai persembahan untuk leluhur.

Di era kontemporer, babi dianggap sebagai simbol yang tidak hanya berhubungan dengan kehidupan sosioekonomi dan kepercayaan, tetapi juga kehidupan politik.

Kepala babi dapat diartikan sebagai simbol ancaman atau teror yang dimaksudkan untuk membungkam atau mengintimidasi kerja-kerja jurnalistik yang meliput isu-isu sensitif atau kontroversial. Kepala babi tidak hanya bicara tentang objek fisik tetapi juga efek psikologis yang ditimbulkannya pada penerima.

Ini adalah bentuk terorisme, yang tujuannya adalah untuk menanamkan rasa takut, menghambat kebebasan berekspresi, dan mencegah pers meminta pertanggungjawaban kekuasaan. Ini adalah taktik yang umum digunakan oleh mereka yang ingin menekan perbedaan pendapat atau mengendalikan narasi.

Kepala babi sebagai pesan politik

Dalam banyak budaya[11], kepala babi merupakan simbol yang memiliki konotasi negatif dalam konteks agama tertentu, terutama dalam Islam–yang menganggap babi sebagai hewan yang haram atau najis.

Oleh karena itu, penggunaan kepala babi sebagai simbol dalam serangan terhadap media seperti Tempo tidak hanya dimaksudkan untuk menakut-nakuti atau mengintimidasi, tetapi juga sebagai alat untuk menyampaikan pesan politik yang mendalam—bahwa tindakan atau pemberitaan dari media tersebut dianggap bertentangan dengan norma-norma atau nilai-nilai tertentu yang diyakini oleh pihak yang melakukan serangan.

Tindakan intimidasi simbolik ini mencerminkan usaha untuk menghalau kritik yang mengancam kepentingan kelompok atau elite tertentu. Hal ini menjadi semacam ritus politik yang memperlihatkan dinamika kekuasaan yang khas.

Rezim yang mengancam pers

Tindakan intimidatif terhadap lembaga pers dan insan jurnalistik di Indonesia bukan barang baru, dan tidak hanya terjadi pada Tempo saja.

Tumpukan koran dari sejumlah media massa di Indonesia. Abel Regy/Shutterstock[12]

Menurut data[13] Aliansi Jurnalis Independen (AJI), selama tahun 2024 hingga Maret 2025 terdapat 90 tindakan kekerasan, baik secara fisik (seperti intimidasi dan kekerasan) maupun nonfisik (seperti, peretasan website dan serangan digital lainnya) terhadap lembaga dan jurnalis di beberapa media nasional maupun lokal.

Selama satu dekade rezim Joko “Jokowi” Widodo, penyelenggaraan negara dipenuhi skandal dan kontroversi. AJI mencatat selama periode 2014-2024 setidaknya terdapat 709 tindakan kekerasan terhadap pers[14].

Kondisi tersebut mencederai kebebasan pers, serta mencoreng kedudukan pers sebagai pilar keempat demokrasi[15]. Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka saat ini, kondisi kebebasan pers tampaknya semakin memburuk.

Padahal peran pers sangat dibutuhkan untuk mengontrol laju pemerintahan yang kian mengkhawatirkan dengan berbagai gebrakan dan skandal kontroversialnya, mulai dari kasus mega korupsi Pertamina hingga PT Timah, polemik program Makan Bergizi Gratis (MBG), hingga pendirian Danantara. Belum lagi berbagai kebijakan rezim Prabowo yang menyebabkan penurunan daya beli, maraknya PHK, melemahnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), hingga masalah penegakan hukum yang tak berkesudahan.

Konsekuensi dari segala polemik tersebut adalah praktik pengawasan publik melalui pers sebagai bagian dari kehidupan berdemokrasi yang lebih masif. Namun, jika kerja-kerja jurnalistik direspons dengan teror dan intimidasi, demokrasi Indonesia terancam berada dalam kecacatan[16].

Terakhir, teringat karya sastrawan Inggris terkemuka, George Orwell yang menulis novel alegoris berjudul “Animal Farm” tahun 1945, di mana dia secara satir menjelaskan bahwa hewan babi yang dianalogikannya dalam novel tersebut sebagai jelmaan rezim otoriter dan korup.

Kepala babi, yang dikirim ke redaksi Tempo, selain merepresentasikan simbol kengerian dan pesan politik, juga dapat dikatakan dari simbolisasi dari kondisi politik Indonesia hari ini.

References

  1. ^ kepala babi (www.tempo.co)
  2. ^ bangkai tikus dengan kepala terpenggal (www.tempo.co)
  3. ^ menanggapi (www.youtube.com)
  4. ^ Lévi-Strauss, (archive.org)
  5. ^ Harris, (archive.org)
  6. ^ Douglas (web.mit.edu)
  7. ^ Sutton (archive.org)
  8. ^ studinya (books.google.co.id)
  9. ^ Oryzapratama/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  10. ^ studi etnografi (jolly1984.pdf)
  11. ^ banyak budaya (diener1978.pdf)
  12. ^ Abel Regy/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  13. ^ data (advokasi.aji.or.id)
  14. ^ 709 tindakan kekerasan terhadap pers (advokasi.aji.or.id)
  15. ^ pilar keempat demokrasi (www.mkri.id)
  16. ^ kecacatan (www.eiu.com)

Authors: Khalid Walid Djamaludin, Antropolog, University of Latvia

Read more https://theconversation.com/makna-kiriman-kepala-babi-pesan-politik-yang-mengancam-kebebasan-pers-di-indonesia-252926

Magazine

Makna kiriman kepala babi: Pesan politik yang mengancam kebebasan pers di Indonesia

Ilustrasi babi.Tom Korcak/ShutterstockBeberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan rentetan ancaman terhadap kantor media massa Tempo. Mereka mendapatkan kiriman paket berisi kepala babi pada Rabu, 19...

4 dampak psikologis UU TNI baru bagi masyarakat Indonesia

Prajurit TNI menggenggam senjata saat parade dalam sebuah upacara.Owl Yellow/ShutterstockIndonesia pernah mengalami masa kelam ketika militer bercokol di hampir seluruh sendi pemerintahan dalam sistem...

Buntut ketegangan Trump-Zelensky: Akan seperti apa hubungan AS dengan Ukraina, Eropa, dan global?

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump (kiri) menyambut Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Gedung Putih untuk penandatanganan akses AS terhadap mineral langka Ukraina.Joshua Sukoff/Shuttersto...