Konten brain rot lumpuhkan kemampuan kita bercerita penuh makna
- Written by Masoud Kianpour, Senior Research Fellow, Canada Excellence Research Chair in Migration and Integration program, Toronto Metropolitan University

Saya mengajar sebuah mata kuliah tentang hubungan antara masyarakat dengan media sosial[1] di Durham College. Sebagai bagian dari tugas, saya meminta mahasiswa saya untuk merefleksikan penggunaan media sosial mereka.
Tema yang sering muncul adalah kelekatan mereka dengan ponsel. Banyak dari mereka mengakui bahwa mereka menghabiskan banyak waktu setiap harinya di media sosial untuk menonton video pendek tanpa tujuan jelas dan menunda aktivitas yang lebih produktif.
Ada sebuah istilah untuk perilaku ini dan dampaknya ke kesehatan mental. Salah satunya baru dinobatkan sebagai Oxford Word of the Year 2024[2]: “brainrot” — penurunan kondisi mental atau intelektual seseorang. Ini terjadi terutama karena konsumsi konten receh secara berlebihan.
Bagi banyak orang dewasa, adiksi internet atau disebut candu digital[3] (digital drugs) oleh para psikolog klinis dapat hadir dari aktivitas belanja digital, bermain game, judi online, hingga pornografi. Adiksi ini telah menjadi permasalahan serius terlebih setelah kita menerapkan kebijakan pembatasan jarak sosial (social distancing) akibat pandemi COVID-19.
Kelahiran media sosial di awal abad ini disambut antusias karena memiliki potensi untuk memberdayakan individu[4], memfasilitasi proses bercerita[5], dan menghubungkan komunitas[6].
Meski membuka semua potensi tersebut, media sosial juga berisiko menjadi tantangan serius pada hubungan kita terhadap fakta dan rasa percaya—dua hal dasar dari demokrasi yang efektif. Penyebaran misinformasi dan pembentukan ruang gema[7] (echo chambers) kian menguatkan posisi komunitas yang berlawanan ketika berinteraksi di media sosial. Hasilnya, media sosial menjadi media yang subur akan kebencian dan ekstremisme[8].
Sebagai seorang sosiolog, saya mempelajari kultur pop. Saya dan kolega saya dari Toronto Metropolitan University (TMU) dan University of Ottawa baru saja merilis laporan tentang bagaimana narasi kultural dan identitas berevolusi di tengah lajunya perkembangan teknologi digital[9].
Tingkat konsentrasi yang menurun
Rata-rata anak muda di Amerika Serikat menghabiskan lebih dari 5 jam di depan layar dan mendapatkan 237 notifikasi[10]—satu notifikasi setiap empat menit.
Di tengah kultur yang selalu terhubung ini, banyak anak muda hidup di dunia digital dengan gambaran ideal. Misalnya dari influencer kecantikan yang menebar perbandingan tak realistis yang mendorong perasaan rendah diri dan tak berharga[11]. Sama halnya dengan bro culture, salah satu bentuk _toxic masculinity[12]_ yang disebut-sebut jalan menuju kesuksesan.
Menurut ahli budaya Byung-Chul Han[13], hal-hal tersebut merupakan tanda menurunnya kemampuan bercerita (storytelling). Pembaca modern tak lagi mampu terhubung secara mendalam dengan narasi. Tatapan “panjang, perlahan, terhanyut” yang memungkinkan kita untuk melamun dan benar-benar teralihkan telah tergantikan dengan keterikatan penuh fokus pada informasi yang tak kunjung habis.
Hasilnya, kemampuan bernarasi benar-benar di ujung tanduk[14].
Tim peneliti dari TMU[15] yang mempelajari lingkungan perspektif pekerja muda baru saja membuat video berdurasi 2 menit 40 detik[16] untuk mengajak pelajar memahami topik terkait apa yang pekerja muda inginkan dari pekerjaan mereka.
Para pelajar tak mampu menonton keseluruhan video karena merasa durasinya terlalu panjang. Pada akhirnya, tim peneliti harus mengedit video menjadi kumpulan video yang jauh lebih singkat—beberapa hanya berdurasi 16 detik—agar mereka dapat menjaga perhatian dari pelajar. Apakah temuan ini mengejutkan?
Teknologi dan media modern terus-menerus mengingatkan kita untuk menjaga memori dan melindungi sejarah. Namun, memori pun penuh dengan paradoks[17], karena setiap upaya untuk mengingat tetap melibatkan proses melupakan dan ketiadaan.
Platform daring, dengan konten yang cepat berlalu, berisiko berkontribusi pada hilangnya memori kultural[18]. Ini akibat dari banyaknya konten yang sifatnya hanya untuk dibagikan dan mendapat interaksi dangkal, bukan ekspresi kultural yang bermakna.
Brain rot terjadi, kebenaran pergi
Dalam memoarnya, penulis dan naturalis Henry David Thoreau menyesali penurunan kapasitas masyarakat untuk berpikir secara mendalam dan melakukan upaya intelektual. Masyarakat kini berpikir secara sederhana dan dangkal.
Pada 1854, ia menulis dalam bukunya yang berjudul Walden[19]:
“Ketika Inggris berupaya menyembuhkan pembusukan kentang (potato-rot), akankah ada upaya untuk menyembuhkan pembusukan otak (brain rot) yang dampaknya lebih luas dan fatal?
Thoreau bisa jadi telah memprediksi masa depan ketika AS dipimpin oleh presiden yang tak hanya tak mampu berpikir secara mendalam dan berefleksi diri, tetapi juga menyepelekan fakta sejarah dan nilai-nilai moral.
Di luar reputasinya sebagai pembohong patologis[20] (pathological liar), Donald Trump menjadi contoh nyata istilah yang dicetuskan Harry Frankfurt yaitu bulshitter[21]. Berbeda dari pembohong pada umumnya yang sengaja membuat klaim palsu tentang realitas, Trump justru berbicara tanpa mengindahkan kebenaran sama sekali.
Bulshitters menyelewengkan tata cara perbincangan dengan membuat pertanyaan tentang kebenaran dan kebohongan tak lagi relevan. Kebenaran dan kebohongan hanya menjadi alat bercerita—tak memedulikan fakta.
Read more: Bullshit is everywhere. Here's how to deal with it at work[22]
Perspektif yang lebih luas
Georg Simmel[23] menjadi salah satu ilmuwan sosial pertama yang mengungkapkan kekhawatiran tentang dampak kehidupan modern dengan kesehatan mental.
Pada 1903 saat menulis tentang Berlin, Georg mendeskripsikan tentang blasé attitude[24] sebagai kondisi psikologis yang muncul ketika otak menghadapi terlalu banyak stimulus. Untuk menghadapi banjir stimulus, otak membuat sebuah mekanisme pertahanan diri: menjadi tak peduli dengan sekeliling.
Satu abad kemudian, ketika linimasa daring kita dibanjiri konten tanpa batas, aneh rasanya untuk menilik kembali observasi Simmel.
Kita harus berkembang dari diagnostik tradisional berupa kerangka literasi digital dan kompetensi[25]. Masalah utamanya bukan pada teknologi, tetapi dalam sistem sosio-ekonomi yang lebih luas ketika teknologi beroperasi—sebuah lingkaran setan antara konsumen - kapitalis - dan dunia digital[26] yang mengikis otak dan budaya kita.
Manusia pada dasarnya selalu terkagum akan cerita. Kita perlu cerita untuk memahami diri sendiri[27].
Sayangnya, algoritma media sosial yang berorientasi pada keuntungan telah membuat pengalaman manusia seakan-akan seragam dan pada akhirnya merusak keberagaman budaya. Kita telah berubah dari seorang pencerita menjadi sekadar pedagang cerita.
References
- ^ masyarakat dengan media sosial (www.pewresearch.org)
- ^ Oxford Word of the Year 2024 (corp.oup.com)
- ^ candu digital (www.nytimes.com)
- ^ memberdayakan individu (doi.org)
- ^ memfasilitasi proses bercerita (www.routledge.com)
- ^ menghubungkan komunitas (doi.org)
- ^ ruang gema (doi.org)
- ^ kebencian dan ekstremisme (doi.org)
- ^ bagaimana narasi kultural dan identitas berevolusi di tengah lajunya perkembangan teknologi digital (www.torontomu.ca)
- ^ menghabiskan lebih dari 5 jam di depan layar dan mendapatkan 237 notifikasi (www.commonsensemedia.org)
- ^ perasaan rendah diri dan tak berharga (www.theatlantic.com)
- ^ salah satu bentuk _toxic masculinity (medium.com)
- ^ Byung-Chul Han (www.newyorker.com)
- ^ bernarasi benar-benar di ujung tanduk (www.theguardian.com)
- ^ Tim peneliti dari TMU (fsc-ccf.ca)
- ^ video berdurasi 2 menit 40 detik (www.torontomu.ca)
- ^ memori pun penuh dengan paradoks (muse.jhu.edu)
- ^ hilangnya memori kultural (doi.org)
- ^ Walden (www.gutenberg.org)
- ^ pembohong patologis (democracy21.org)
- ^ bulshitter (press.princeton.edu)
- ^ Bullshit is everywhere. Here's how to deal with it at work (theconversation.com)
- ^ Georg Simmel (www.blackwellpublishing.com)
- ^ blasé attitude (roam.macewan.ca)
- ^ kerangka literasi digital dan kompetensi (unevoc.unesco.org)
- ^ lingkaran setan antara konsumen - kapitalis - dan dunia digital (www.theoryculturesociety.org)
- ^ memahami diri sendiri (thecreativemind.substack.com)
Authors: Masoud Kianpour, Senior Research Fellow, Canada Excellence Research Chair in Migration and Integration program, Toronto Metropolitan University
Read more https://theconversation.com/konten-brain-rot-lumpuhkan-kemampuan-kita-bercerita-penuh-makna-251151