Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Zilenial konsumtif karena dorongan keadaan

  • Written by Andi Ibnu Masri Rusli, Economy Editor, The Conversation Indonesia
Zilenial konsumtif karena dorongan keadaan

● Media sosial jadi penyebab utama para Zilenial terpapar FOMO

● Zilenial hadapi inflasi harga-harga barang melambung tinggi dibandingkan generasi sebelumnya

● Kehadiran fintek jadi solusi untuk memenuhi dahaga belanja Zilenial yang kerap bokek

Generasi Z dan milenial—atau yang kerap disebut Zilenial—dianggap lebih boros dibandingkan generasi sebelumnya seperti X dan baby boomers[1]. Meski tak bisa digeneralisasi secara umum, anggapan ini ternyata banyak benarnya.

Bahkan, gaya hidup konsumtif para Zilenial ini bukan cuma terjadi di kota-kota besar. Riset[2] yang dilakukan oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura pada 2025 menemukan bahwa fenomena ini sudah menyebar hingga ke daerah seperti Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur.

Menariknya, perilaku konsumtif Zilenial ini sering kali bukan karena kebutuhan mendesak, melainkan pengaruh dorongan sosial—khususnya media sosial.

“Karakteristik pengambilan keputusan pembelian dari para Zilenial lebih cepat dan impulsif terpengaruh pesatnya digitalisasi seperti platform media sosial,” kata Psikolog dan Konsultan Laboratorium Psikologi Terapan Universitas Ahmad Dahlan Daerah Istimewa Yogyakarta, M. Nur Syuhada, kepada The Conversation Indonesia.

Nafsu belanja dipicu tren, FOMO, dan promo

Lahir di era kemajuan teknologi dan digitalisasi, Zilenial tumbuh dengan akses terhadap informasi dan ilmu pengetahuan yang luas. Hal ini tak hanya membuat mereka piawai teknologi, tapi juga memiliki kualitas kecerdasan dan kemampuan berpikir logis[3] lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya. Pikiran mereka juga lebih terbuka akan banyak hal termasuk berani memiliki jiwa wirausaha yang tinggi.

Namun di lain sisi, perkembangan teknologi yang pesat juga mendorong Zilenial menjadi konsumtif. Salah satu pemicunya adalah kehadiran media sosial dan influencer[4]—sebutan bagi individu populer di media sosial dengan basis pengikut besar yang bisa memengaruhi persepsi bahkan keputusan membeli pengikutnya.

Gaji tak kunjung naik. Promosi mesti pindah perusahaan. Skripsi belum juga ACC. Diet ketat, berat badan tak turun juga. Lingkungan kerja toxic, bosnya narsistik. Gaji bulan ini mesti dibagi untuk orang tua dan anak. Mau sustainable living, ongkosnya mahal. Notifikasi kantor berdenting hingga tengah malam. Generasi Zilenials hidup di tengah disrupsi teknologi, persaingan ketat, dan kerusakan lingkungan. Simak ‘Lika Liku Zilenial’ mengupas tuntas permasalahanmu berdasar riset dan saran pakar. Teknologi membuat semua orang bisa punya akun media sosial[5]. Dan dengan interaksi dua arah, influencer[6] dengan mudah memicu tren baru yang membuat orang merasa tertinggal jika tidak ikutan—alias FOMO fear of missing out[7]. Pada saat yang bersamaan, kemajuan platform belanja daring e-commerce juga kian memanjakan pengguna untuk berbelanja—tinggal klik, bayar secara digital, barang meluncur ke rumah. Apalagi, algoritma canggih e-commerce kini bisa membaca minat pengguna[8] sehingga terus menampilkan berbagai produk yang diminati dengan promo menggiurkan. Alhasil, tak heran jika pasar e-commerce di Indonesia diprediksi akan naik dari US$65 miliar (Rp1.094,32 triliun)[9] pada 2024 menjadi Rp1.291,3 triliun[10] pada 2029 nanti. Dan yang belanja? Mayoritas atau tepatnya 70% di antaranya berasal dari kawula muda Zilenial. Bahkan, data Statista mengungkap, 70% dari mereka[11] melakukan transaksi di e-commerce setelah melihat rekomendasi influencer atau iklan di media sosial. Bukan enggak mau beli aset, tapi… Data Badan Pusat Statistik[12] (BPS) menunjukkan bahwa pola belanja masyarakat Indonesia bergeser dalam 10 tahun terakhir. Sekarang, orang lebih banyak menghabiskan yang untuk bersenang-senang. Pengeluaran untuk kebutuhan hiburan meningkat dari 0,22 % pada 2014 menjadi 0,38 % pada 2024[13]. Belanja untuk pakaian juga naik. Sebaliknya, pengeluaran untuk makanan, minuman, dan kebutuhan tempat tinggal[14] justru turun. Bahkan, pengeluaran di sektor pendidikan dan kesehatan di kalangan kelas menengah juga turun. “Hal ini menandakan adanya perbedaan prioritas. Generasi sebelumnya lebih fokus pada kepemilikan barang fisik, seperti rumah atau mobil. Sementara Zilenial lebih mengutamakan pengalaman seperti travelling, nonton konser, atau belanja barang-barang yang sedang viral,” kata Nur Syuhada.
Diproduksi oleh TCID melalui Canva.

Zilenial sebenarnya bukannya tidak mau memiliki aset fisik. Tapi, harga barang-barang fisik berharga seperti rumah[15] sudah melonjak tinggi dengan kenaikan rata-rata 10% per tahun. Mobil murah macam low cost green car[16] (LCGC) yang 2013 lalu harganya cuma Rp76,5 juta, kini sudah melambung menjadi Rp100 juta/unit.

Sedangkan kenaikan gaji Zilenial tidak secepat dan tidak sebanding dengan kenaikan harga properti itu. Jadi, meskipun angka rata-rata gaji karyawan[17] di Indonesia meningkat dari Rp1,9 juta pada 2015 menjadi Rp3,04 juta per bulan di 2024, jumlah tersebut tidak bisa mengejar laju kenaikan properti yang harganya mulai dari ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Fintek: jalan pintas memenuhi hasrat belanja Zilenial saat bokek

Inovasi digital juga telah melahirkan Fintek alias layanan keuangan digital. Kehadiran Fintek ini ibarat angin surga untuk memenuhi sifat konsumerisme Zilenial. Sebab, proses pengajuannya jauh lebih gampang dibanding bank konvensional.

Selain itu, strategi pemasarannya juga luwes dilakukan secara digital dan multichannel, menyentuh berbagai aplikasi sampai gim[18] yang banyak digandrungi anak muda.

“Akibatnya, paparan iklan pinjol dalam mobile games terbukti memicu ketergantungan dan dapat menimbulkan masalah keuangan jangka panjang bagi konsumen seperti perilaku ‘gali lubang, tutup lubang’ untuk melunasi utang lama,” kata Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Imam Salehudin.

Masifnya pemasaran yang dilakukan pinjol cukup sukses menyasar Zilenial yang butuh dana cepat.

Data Otoritas Jasa Keuangan[19] menyebut bahwa Zilenial (19-34 tahun) merupakan kategori umur peminjam terbesar layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi (LPBBTI)/peer-to-peer lending/ atau pinjaman online (pinjol) dengan total outstanding pinjaman hingga Rp39,2 triliun dari total seluruh kategori umur di angka Rp72,4 triliun per Desember 2024.

Diproduksi oleh TCID melalui Canva.

Data juga menunjukkan bahwa tren belanja para Zilenial lebih mengarah untuk kebutuhan konsumtif ketimbang produktif dengan porsi 70% banding 30%[20]. Karena itu, perlu upaya ekstra dari seluruh pihak untuk meningkatkan literasi dan inklusi media sosial dan keuangan.

“Sebab, selain membuat depresi, FOMO juga bisa menyeret kamu ke dalam lubang kemiskinan,” kata Peneliti Bidang Kependudukan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Sonyaruri Satiti.

References

  1. ^ baby boomers (www.britannica.com)
  2. ^ Riset (ejournal.iaimu.ac.id)
  3. ^ kualitas kecerdasan dan kemampuan berpikir logis (www.pewresearch.org)
  4. ^ influencer (e-journal.uajy.ac.id)
  5. ^ semua orang bisa punya akun media sosial (www.djkn.kemenkeu.go.id)
  6. ^ influencer (www.cnnindonesia.com)
  7. ^ fear of missing out (theconversation.com)
  8. ^ minat pengguna (theconversation.com)
  9. ^ US$65 miliar (Rp1.094,32 triliun) (services.google.com)
  10. ^ Rp1.291,3 triliun (www.statista.com)
  11. ^ 70% dari mereka (www.statista.com)
  12. ^ Badan Pusat Statistik (katadata.co.id)
  13. ^ 0,22 % pada 2014 menjadi 0,38 % pada 2024 (katadata.co.id)
  14. ^ makanan, minuman, dan kebutuhan tempat tinggal (katadata.co.id)
  15. ^ rumah (www.detik.com)
  16. ^ low cost green car (www.cnbcindonesia.com)
  17. ^ angka rata-rata gaji karyawan (images.app.goo.gl)
  18. ^ gim (theconversation.com)
  19. ^ Otoritas Jasa Keuangan (ojk.go.id)
  20. ^ 70% banding 30% (ojk.go.id)

Authors: Andi Ibnu Masri Rusli, Economy Editor, The Conversation Indonesia

Read more https://theconversation.com/zilenial-konsumtif-karena-dorongan-keadaan-254712

Magazine

Serigala ‘dire wolf’ bangkit lagi, tapi apakah mereka mampu bertahan dan berfungsi selayaknya bagi alam?

Perusahaan rekayasa genetika asal Amerika Serikat (AS), Colossal Biosciences, baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka berhasil “menghidupkan kembali” serigala purba atau dire wolf, spesies ...

Zilenial konsumtif karena dorongan keadaan

● Media sosial jadi penyebab utama para Zilenial terpapar FOMO● Zilenial hadapi inflasi harga-harga barang melambung tinggi dibandingkan generasi sebelumnya● Kehadiran fintek jadi so...

Kecanduan media sosial bikin anak muda rentan kena gangguan makan

● Riset mengungkap kecanduan media sosial dapat menyebabkan remaja mengalami gangguan makan● Konten media sosial yang menonjolkan citra tubuh ideal mendorong gangguan makan pada remaja`...