Serigala ‘dire wolf’ bangkit lagi, tapi apakah mereka mampu bertahan dan berfungsi selayaknya bagi alam?
- Written by Timothy Neal Coulson, Professor of Zoology and Joint Head of Department of Biology, University of Oxford

Perusahaan rekayasa genetika asal Amerika Serikat (AS), Colossal Biosciences, baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka berhasil “menghidupkan kembali” serigala purba atau dire wolf[1], spesies yang sudah punah sekitar 10.000 tahun lalu. Namun, tiga hewan yang mereka perkenalkan itu sebenarnya adalah serigala abu-abu modern yang telah dimodifikasi secara genetik.
Terlepas dari apakah kamu menganggap mereka benar-benar serigala purba atau tidak[2], Colossal Bioscience mengklaim bahwa mereka telah merekayasa ulang fungsi ekologis yang hilang.
Klaim ini membuat saya berpikir: fungsi ekologis apa saja yang sudah lenyap dari ekosistem kita akibat kepunahan banyak spesies yang disebabkan oleh manusia?
Fungsi ekologis yang saya maksud di sini adalah peran yang dimainkan setiap hewan dalam ekosistem yang mereka tempati.
Misalnya, lebah madu dan serangga-serangga lainnya menyerbuki tanaman berbunga, berang-berang membangun bendungan yang menciptakan kolam dan mengubah aliran sungai, gajah menumbangkan pohon sehingga sabana tetap terbuka, atau semut dan rayap yang menggali tanah dan membantu mengurai sampah tanaman.
Saya tidak tahu fungsi ekologis seperti apa yang dimiliki serigala hasil rekayasa Colossal, yang membedakannya dari serigala abu-abu biasa. Namun secara hipotetik, mungkin saja mereka akan berburu mangsa dengan cara atau tempat yang berbeda.
Serigala yang berjumlah tiga ekor saja, tentu tidak mungkin punya kemampuan statistik untuk membuktikan adanya dampak ekologis baru. Tapi tetap saja, gagasan bahwa serigala ini bisa memainkan peran ekologis yang berbeda tentu jauh lebih menarik daripada sekadar klaim bahwa mereka telah ‘menghidupkan kembali’ serigala purba atau dire wolf.
Salah satu kelompok hewan yang memiliki fungsi ekologis luar biasa besar adalah hewan-hewan raksasa yang beratnya lebih dari setengah ton. Sayangnya, kelompok ini juga paling terdampak oleh aktivitas manusia—banyak dari spesies ini yang punah dalam beberapa puluh ribu tahun terakhir.
Setiap kali nenek moyang manusia bermigrasi dan menjelajah benua baru dari Afrika, hewan besar berisiko lebih besar terancam punah[3] daripada hewan kecil.
Kukang tanah raksasa, mamut dan gajah, bison dan tapir raksasa, bahkan spesies armadillo dan unta yang berukuran sangat jumbo punah beberapa ribu tahun setelah manusia pertama tiba di benua Amerika[4].
Australia kehilangan semua hewan besarnya[5], termasuk diprotodon (kerabat wombat), kanguru bermuka datar raksasa, dan hewan berkantung yang bentuknya mirip tapir raksasa.
Bersamaan dengan herbivora besar ini, singa berkantung (yang berevolusi dari garis keturunan herbivora), buaya terrestrial, ular pembelit raksasa, dan biawak besar juga hilang. Begitu pula dengan benua Eropa dan Asia yang juga kehilangan banyak spesies raksasa setelah manusia menyebar ke sana.
Afrika adalah satu-satunya benua yang masih memiliki banyak herbivora besar, termasuk badak, gajah, kuda nil, jerapah, dan kerbau.
Namun bahkan di benua tempat manusia berevolusi ini, kepunahan masih terjadi—seperti spesies mirip gnu (sejenis antelop) raksasa dan setidaknya satu spesies gajah. Beberapa ilmuwan meyakini spesies tersebut lenyap akibat aktivitas nenek moyang kita[6].
Di Afrika, herbivora besar yang tersisa memainkan peran ekologis penting yang telah hilang di tempat lain. Gajah, misalnya, berperan menumbangkan pohon untuk menjaga sabana tetap terbuka[7], sementara kuda nil membuat padang rumput dan menyuburkan sungai dengan kotorannya[8] guna memperkaya rantai makanan perairan.
Semua herbivora besar menginjak-injak vegetasi dan bantaran sungai, dan merupakan pemain kunci dalam siklus nutrisi alam dari banyaknya kotoran yang mereka hasilkan. Mereka juga membantu penyebaran biji-bijian, dan menciptakan campuran habitat yang berbeda. Proses ini yang menentukan seberapa sering suatu area terbakar, jenis ekosistem yang terbentuk, bahkan secara tidak langsung bisa memengaruhi pola cuaca dan iklim.
Hilangnya hewan-hewan besar ini, terutama di Australia, mengubah ekosistem secara drastis—mulai dari hutan tropis hingga gurun. Siklus api dan nutrien ikut berubah seiring punahnya para pemakan tumbuhan raksasa.
Punahnya semua predator puncak menyebabkan ledakan populasi herbivora kecil seperti kanguru, walabi, dan koala. Hal ini membuat semakin sulit untuk menghindari perubahan hutan menjadi sabana dan lahan semi-kering.
Tanpa predator besar asli, marsupial kehilangan naluri takut. Ketika manusia memperkenalkan kucing, anjing, dan rubah, marsupial menjadi mangsa mudah. Akibatnya, beberapa spesies seperti bilby kecil, bandikut gurun, dan potoroo berwajah lebar punah selamanya, karena menjadi mangsa empuk karnivora.
Pencapaian yang mengesankan bagi Colossal Biosciences adalah merekayasa ulang hewan-hewan besar untuk mengembalikan fungsi ekologi yang hilang.
Membangkitkan kembali diprotodon, kanguru bermuka datar, atau bahkan predator seperti singa berkantung akan menjadi lompatan besar—tapi saya rasa, itu akan selamanya berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan.
Jurassic Park adalah fiksi, sama halnya dengan upaya menghidupkan kembali fauna Australia 60.000 tahun yang lalu. Bahkan jika kita bisa melakukannya, belum tentu hewan-hewan tersebut akan bertahan hidup mengingat betapa ekologi Australia kini sudah sangat bertahan.
Daripada mencoba menciptakan kembali fungsi ekologis lewat rekayasa genetik hewan yang belum tentu bisa dilepasliarkan, sebaiknya kita mengambil pendekatan lain, yakni: fokus menjaga dan memulihkan fungsi ekologis dengan spesies yang hidup hari ini—baik di area habitat asli maupun di tempat-tempat mereka pernah hidup.
Mungkin dalam dunia sains, hal ini tidak semenarik sensasi bioteknologi seperti yang dilakukan Colossal Biosciences, tetapi jauh lebih realistis dan akan lebih bermanfaat bagi alam.
References
- ^ “menghidupkan kembali” serigala purba atau dire wolf (theconversation.com)
- ^ atau tidak (theconversation.com)
- ^ hewan besar berisiko lebih besar terancam punah (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ di benua Amerika (theconversation.com)
- ^ semua hewan besarnya (theconversation.com)
- ^ nenek moyang kita (institutions.newscientist.com)
- ^ menjaga sabana tetap terbuka (pachydermjournal.org)
- ^ dengan kotorannya (theconversation.com)
- ^ Rita Willaert / flickr (www.flickr.com)
- ^ CC BY-NC-SA (creativecommons.org)
- ^ Ryan B / flickr (www.flickr.com)
- ^ CC BY-NC (creativecommons.org)
Authors: Timothy Neal Coulson, Professor of Zoology and Joint Head of Department of Biology, University of Oxford